Sorong diceritakan sebagai salah satu daerah paling tajir di Provinsi Papua Barat. Isi buminya mengandung dan menghasilkan minyak dan gas bumi (migas), dan bahan tambang mineral lainnya. Sejak awal abad 19, korporasi trans nasional dan perusahaan negara menguras kekayaan migas ini untuk membangkitkan mesin industri raksasa dan penggerak roda ekonomi lainnya.
Berdasarkan data Dana Bagi Hasil (DBH) Kementerian Keuangan, total dana bagi hasil migas di Kabupaten Sorong sebesar Rp. 13.967.965.000, atau sekitar 10,5 persen dari total dana bagi hasil dari migas dan non migas (Rp. 133.528.826.000) pada tahun 2021.
Namun, tanah dan kekayaan alam yang dimiliki dan menjadi tempat hidup dari suku bangsa Moi ini belum mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup, utamanya bagi Suku Moi, Orang Asli Papua di daerah ini. Berbanding terbalik dengan kemegahan korporasi yang diperoleh dari keuntungan dan eksploitasi nilai lebih bisnis migas.
Berdasarkan angka statistik kelayakan hidup yang ditunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua Barat, diketahui pencapaian IPM Kabupaten Sorong (2021) diberikan status indeks pembangunan manusia sedang, artinya kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak, dapat terpenuhi. Namun secara nasional, IPM Provinsi Papua Barat pada Mei 2022 (65,26) berada di nomor dua terendah setelah Provinsi Papua (60,62), bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta dengan capaian IPM tertinggi (81,11).
Angka standar hidup layak yang diukur dari pengeluaran per kapita yang disesuaikan masyarakat di Provinsi Papua Barat pada tahun 2021 mencapai Rp. 7,93 juta per tahun. Angka pengeluaran biaya hidup ini menunjukkan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat dan sebaliknya sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara memadai dan berkwalitas, dan termasuk keterbatasan mengakses hasil pembangunan.
Fakta potret kesulitan sosial lebih lebar menunjukkan ketidakadilan dan kesulitan hidup Orang Asli Papua, lebih dari sekedar angka statistik ini. Mereka menempuh jalan berliku-liku untuk mendapatkan hak-hak pembangunan.
Mariana Ulimpa, perempuan adat asal Suku Moi, Kabupaten Sorong, sedang memperjuangkan hak keluarga dan komunitasnya untuk dapat hidup layak dan dihormati. Marga Idik, Mamringgofok dan Klawom, pemilik ulayat dari lokasi produksi migas di Klamono, menuntut pemerintah memenuhi kewajibannya membagikan hasil bisnis migas kepada pemilik ulayat.
Tahun 2010, masyarakat pemilik tanah adat menuntut haknya dan sesuai perjanjian untuk mendapatkan dana bagi hasil dan janji program kesejahteraan. Tidak ada kejelasan dan kepuasan. Tahun 2019 dilalui dengan berbagai aksi-aksi menyurat dan bertemu DPR, pejabat kementerian, Staf Ahli Presiden dan Pertamina EP di Jakarta. Mediasi dan dialog yang ditempuh bersengkarut dengan berbagai argumentasi dan dalil, yang memakan waktu lama, namun belum juga ada hasil baik dan memuaskan.
“Di situ saya kembali, jatuh pemalangan pada tanggal 15 September 2019, dilapangan produksi Klamono. Disitulah tibalah bapak bupati Jhony Kamuru bertemu masyarakat ditempat pemalangan, dengan dibuka palang secara tertulis dibuat untuk masyarakat bahwa poin-poin yang sebagai tuntutan masyarakat itu ada berapa poin sekali bahwa ada asrama khusus tiga marga, dana pendidikan diserahkan ketiga marga yang ada di satu Klamono dan dana bagi hasil (DBH)”, jelas Mariana, saat melakukan aksi protes di Kantor Bupati Sorong (28/11/2022).
Beberapa kali palang adat sebagai peringatan dan larangan adat dilakukan untuk menghadang dan menghentikan aktivitas PT Pertamina EP. Palang selalu juga dibuka setelah ada insentif janji.
Tahun 2021, Mariana pernah diberikan kesempatan menyulut lentera api PON XX Papua dari area PT Pertamina EP Klamono, tapi Mariana tidak langguk dan surut menuntut haknya. Alih-alih, Mariana kembali melakukan dan memimpin aksi protes di Kantor Bupati Sorong (28/11/2022), menuntut hak-hak pemilik tanah adat. Mariana membacakan tuntutan yang dicetak diatas banner, antara lain menuntut Pemda Kabupaten Sorong segera menjawab dana pendidikan anggaran tahun 2022, menjawab Dana Bagi Hasil 10 Persen ; menjawab asrama pelajar Putra-Putri.
Pemda Provinsi Papua Barat telah menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 3 Tahun 2019, Tanggal 18 Juli 2019, tentang Pembagian Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi Antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan keseluruhan penerimaan yang diterima Kabupaten/Kota penghasil, dibagi sebagai berikut: pendidikan sebesar 30 % (tiga puluh persen);dana alokasi kesehatan dan perbaikan gizi sebesar 20 % (dua puluh persen); pemberdayaan masyarakat adat sebesar 33 % (tiga puluh tiga persen); beasiswa perguruan tinggi untuk orang asli papua sebesar 5 % (lima persen); Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat sebesar 10% (sepuluh persen); dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar 2 % (dua persen). Pasalnya belum bisa diterapkan dalam kasus ini.
Mariana tidak dapat bertemu bupati karena tidak berada di tempat. Staf Ahli Bupati Sorong, Suroso, menolak mengambil keputusan. Kepala Bagian Hukum, Demianus Aru, menyemangati untuk menanggapi tuntutan masyarakat.
“Kami juga punya beban moril, kami konsen sekarang ini, antara BLT dan beasiswa bisa berjalan sama-sama, kami punya target pokoknya jangan sampai lewat dari Desember”, ungkap Demianus Aru.
Aksi damai bubar dan masih ada pertanyaan tersisa soal bagaimana mewujudkan tuntutan. Sementara mesin-mesin industri terus menguras kekayaan migas dan menumpuk cuan.
Ank, Des 2022