Kebijakan Miring Demi Taikun Perusak Hutan

Siaran Pers Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Jakarta, Rabu, 13 Maret 2024

Keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang telah diganti menjadi UUCK Nomor 6 Tahun 2023  dan peraturan turunannya, telah menimbulkan kegaduhan dan mengandung kepentingan ekonomi politik bagi elite politik, oligarki dan memperlancar kepentingan penguasa modal. Dalam sektor usaha perkebunan, kejahatan kehutanan yakni operasi bisnis perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan tanpa izin yang melibatkan korporasi, masih memungkinkan ‘diputihkan’ lolos dari jeratan hukum asalkan memenuhi syarat administratif dalam waktu 3 tahun berdasarkan Pasal 110 a UUCK, dan sanksi pencabutan izin dan/atau denda dalam Pasal 110 b. Sanksi ini belum dapat menggantikan kerugian sosial dan kerusakan ekologi, tidak adil.

PUSAKA menemukan adanya dua perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Papua Agri Mandiri (PAM) dan PT Sorong Global Lestari (SGL) di Kabupaten Sorong, yang sedang mengurus pemenuhan persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KPPR) yang sebelumnya bernama Izin Lokasi sebagai persyaratan untuk mendapatkan Perizinan Berusaha, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021. Berdasarkan analisis cepat dan fakta lapangan, diketahui PT PAM mengakuisisi lahan eks perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, seluas 26.914 hektar, sedangkan PT SGL mengakuisisi lahan PT Inti Kebun Lestari.

Teridentifikasi arahan lokasi KPPR yang diterbitkan pemerintah kepada dua perusahaan PT PAM dan PT SGL berada di wilayah masyarakat adat Moi Sigin di Distrik Segun, Distrik Malabotom dan Moi Kelim di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Berdasarkan informasi data Ditjen AHU online, diketahui pemilik saham dan pengurus perusahaan PT PAM dan PT SGL terkait dengan keluarga Fangiono dan Ciliandry Arky Abadi (CAA) Group. Keluarga Fangiono merupakan salah satu taikun juragan sawit terkaya di Indonesia. Di Papua, CAA menguasai dan mengakuisisi saham tiga perusahaan kelapa sawit yakni (1) PT Inti Kebun Sejahtera dengan Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 38.300 hektar ; (2) PT Inti Kebun Sawit dengan IUP seluas 37.000 ha ; dan (3) PT Inti Kebun Lestari seluas 34.400 ha. Ketiga perusahaan ini berada di Kabupaten Sorong.

Tahun 2021, Bupati Sorong mencabut izin usaha perkebunan PT Inti Kebun Lestari, PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi. Namun perusahaan menggugat putusan bupati hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung. Perusahaan juga tetap berupaya mendapatkan dan memperluas lahan bisnis minyak sawit dengan mengganti nama baru, yang memungkinkan dengan adanya kebijakan UU Cipta Kerja dan program hilirisasi.

Data angka ini menunjukkan kuasa dan kontrol Taikun Fangiono atas lahan dan kawasan hutan yang berada di wilayah adat Moi Sigin dan Moi Kelim seluas lebih dari 100.000 hektar, yang mana lebih dari separuh konsesi lima perusahaan tersebut diatas masih memiliki tutupan hutan seluas sekitar 67.000 hektar. Perusahaan CAA grup diketahui juga memiliki puluhan ribu hektar lahan perkebunan kelapa sawit di daerah Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau. Penguasaan dan pemilikan lahan sawit skala luas dan terkonsentrasi pada segelintir perusahaan menggambarkan ketidakadilan ekonomi dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, Pasal 3 ayat (1) dan (2) bahwa batasan luasan maksimum perusahaan kelapa sawit 100.000 hektar untuk satu Perusahaan Perkebunan secara nasional.

Dalam beberapa laporan organisasi masyarakat sipil diketahui bisnis keluarga Fangiono melalui CAA group, Fangiono Agro Plantation (FAP Agri) dan First Resoures, juga telah melakukan pengrusakan hutan, merampas tanah dan berkonflik dengan masyarakat, serta buruh.[1] Hal serupa terjadi dengan perusahaan PT IKSJ dan PT IKS di Kabupaten Sorong[2]. Masyarakat Moi di Distrik Moisigin melaporkan aktivitas penggundulan hutan oleh PT IKSJ dan PT IKS yang berlangsung hingga saat ini. Gunung keramat suku Moi Sigin bernama Magarabat terancam digusur perusahaan.

Pusaka berpendapat seharusnya pemerintah daerah dan nasional menjalankan kebijakan pembaruan agraria dengan mengevaluasi penguasaan lahan skala luas dan memberikan sanksi pencabut izin perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua yang melanggar ketentuan adat dan ketentuan negara, yang merusak hutan dan lingkungan hidup, serta mengupayakan penyelesaian konflik tanah dan perburuhan secara adil.

Mendesak pemerintah melanjutkan kebijakan penertiban izin dan menghentikan pemberian izin baru usaha perkebunan kelapa sawit yang mengalihfungsikan kawasan hutan dan lahan di wilayah adat, karena bertentangan dengan keadilan, berpotensi meningkatnya masalah ekonomi, merosotnya mata pencaharian masyarakat dan kesulitan pemenuhan pangan layak.

Pemerintah segera menghentikan kebijakan yang miring hanya berpihak pada perusahaan dan penguasa modal. Pemerintah hendaknya mengambil langkah efektif dan melaksanakan program secara konsisten untuk mengupayakan perlindungan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat Papua, memberdayakan organisasi dan usaha ekonomi masyarakat adat.

Kontak Person:

Natalia Yewen, HP. +62 813-1753-7503

Staf Divisi Advokasi Kampanye dan Komunikasi

Link Foto Deforestasi Sorong, 2024 : https://drive.google.com/drive/folders/1yjJdQ1lO75188YUCAK4t-5hu3cD22wvx?usp=sharing

[1] Lihat: https://www.forestpeoples.org/sites/default/files/documents/First%20Resources%20Draft%203.4.pdf ; lihat juga: https://thegeckoproject.org/articles/chasing-shadows/

[2] Lihat Catatan Akhir Tahun Pusaka, 2023: https://pusaka.or.id/catatan-akhir-tahun-pusaka-2023-tetap-berlawan/

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy