Upaya Pembangunan Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya, Mengancam Hilangnya Hutan dan Tanah Masyarakat Adat Moi di Kabupaten Sorong

Oleh Ambo Klagilit

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah tetap menetapkan rancang undang-undang tentang pembentukan provinsi Papua Barat Daya (PBD) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke 10 masa persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, pada tanggal 17 November 2022. Penetapan RUU Prov. PBD menjadi UU tanpa mempertimbangkan aspirasi Orang Asli Papua yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut, karena kebijakan ini hanya akan berdampak pada konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Aksi-aksi penolakan yang dilakukan hingga menelan korban jiwa adalah bentuk nyata bahwa rakyat Papua tidak menghendaki kebijakan pemekaran yang sarat kepentingan.

UU PBD yang telah disahkan tersebut mencakup beberapa daerah kabupaten, terdiri dari: Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Maybrat, dan Kota Sorong. UU PBD menetapkan ibu kota Provinsi PBD berkedudukan di Kota Sorong. Namun, tim pemekaran berupaya mencari lokasi ibukota provinsi berada di luar Kota Sorong untuk pembangunan perkantoran yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi PBD. Ada beberapa tempat yang dalam pembahasan tim pemekaran, yakni tanah di wilayah perbatasan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan (wilayah Sub Suku Moi Salkhma) dan di wilayah Salawati (wilayah Sub Suku Moi Sigin). Rencana pusat pemerintahan dan ibukota provinsi berada di luar Kota Sorong, telah melanggar ketetapan UU tentang PBD tersebut.

Rencana pembangunan ibukota provinsi PBD di wilayah Sub Suku Moi Salkhma mendapat penolakan dari masyarakat adat Moi Salkhma di daerah Distrik Sayosa, Distrik Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Sunok, Distrik Klawak, Distrik Konhir, Distrik Salkma, dan Distrik Wemak. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penolakan masyarakat adat setempat, pertama, bahwa wilayah adat mereka merupakan pusat pendidikan adat bagi suku Moi terutama sub Moi Salkma, yang harus dilindungi oleh semua pihak. Kedua, pembangunan ibu kota PBD akan mengancam ruang hidup, tanah dan hutan adat.

Masyarakatadat di Kampung Garma, Distrik Sayosa Timur, Kabupaten Sorong, telah mengadakan diskusi untuk merespon rencana tim pemekaran. Mereka tegas menyatakan menolak rencana tersebut, karena wilayah adat mereka adalah pusat pendidikan adat suku Moi dan tidak bisa diperuntukan untuk pembangunan lain. Ketersediaan sumber daya manusia juga menjadi alasan mereka menolak. Penduduk kampung persiapan Garma, merupakan warga yang berasal  dari kampung Sailala dan kampung Kladuk Kabupaten Sorong.

Pemerintah terus menggunakan cara lama untuk merampas tanah masyarakat adat. Tim pemekaran berencana untuk bertemu dengan Dewan Adat Distrik Salawati, Distrik Moi Sigin, dan Distrik Segun, guna membahas lokasi yang akan dijadikan pusat pemerintah provinsi baru itu. Mereka rencanakan di wilayah Salawati. Pada dasarnya Dewan adat bukan pemilik tanah sehingga mereka tidak dapat mewakili marga-marga pemiliki tanah adat untuk membuat kesepakatan denagan pemerintah.

Lokasi ibukota Prov PBD yang mereka rencanakan di Salawati (Moi Sigin), merupakan wilayah eks PT Inti Kebun Lestari (IKL), IKL merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang izin nya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada 2021 lalu. Status tanah pada wilayah ini belum jelas apakah sudah menjadi milik masyarakat adat atau masih dikuasasi oleh pemerintah, sehingga pemerintah harus terlebih dahulu menjelaskan status tanah tersebut.

Perampasan tanah adat akan terus terjadi, pemerintah yang diberi kewajiban untuk melindungi masyarakat kini menjadi aktor utama merampas tanah dan hutan masyarakat adat Papua. Program transmigrasi oleh pemerintah Indonesia, telah merampas sebagian besar tanah adat masyarakat adat Moi di Sorong. Tanah dan hutan masyarakat adat Moi juga telah dikuasai oleh berbagai izin perusahan. Perusahaan HPH, PT Mancaraya Agro Mandiri menguasai tanah masyarakat adat Moi Seluas ± 97. 820 ha, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menguasasi hutan dan tanah adat suku Moi diantaranya PT Hendrison Inti Persada (HIP) memiliki Izin Usaha Perkebunan seluas 32.546,30 Ha, PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) memiliki seluas 38.300 Ha, PT Inti Kebun Sawit (IKS) memiliki seluas 37.000 Ha, PT Papua Lestari Abadi (PLA) memiliki seluas 15.631 Ha, PT Sorong Agro Sawitindo memiliki seluas 40.000 ha.

Selain itu, Kawasan Ekonomi Khusu (KEK) yang mengambil alih tanah masyarakat adat Moi seluas 523,7 ha dan perusahaan pertambangan batubara dengan luas ratusan hektar. Pemekaran PBD diperkirakan akan mengambil alih puluhan ribu hektar tanah.

Lebih lanjut, pembahasan lokasi pusat perkantoran provinsi PBD sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat Moi yang adalah subjek hukum sebagaimana Paraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tantang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Masyarakat adat Moi sebagai subjek hukum mempunyai hak untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk melindungi hak-haknya serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif oleh pemerintah dan pihak pihak lain.

UU Otsus Papua pasal 38 ayat 2 dan Pasal 42, juga menegaskan masyarakat adat Papua berhak menentukan bentuk pembagunan (ekonomi) seperti apa yang mereka butuhkan. Sehingga pemerintah dalam merencanakan sebuah pembangunan harus melibatkan masyarakat adat sejak awal perencanaan hingga tahap pelaksanaan, agar masyarakat adat diberi manfaat dari kebijakan tersebut. Yang paling penting adalah pemerintah harus tunduk pada prinsip-prinsi FPIC(Free Prior Informed Consent)

Pemerintah berdalil bahwa pemekaran dilakukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, mengatasi ketimpangan sosial. Rakyat Papua justru melihatnya dari sudut yang berbeda, mereka menilai pemekaran adalah politik pemerintah Indonesia untuk menguasai tanah Papua, pemekaran akan mendatangkan migran dalam jumlah yang besar. Mereka membayangkan nasib mereka akan sama seperti suku Aborigin di Australia dan banyak tempat lainnya, dimana masyarakat pribumi terpingirkan dan hidup dalam penderitaan. Kebudayan baru yang masuk beriringan dengan kedatangan para mingran akan mendominasi serta menghilangkan kebudayaan masyarakat pribumi. Akhirnya masyarakat pribumi kehilangan jati diri mereka sebagai masyarakat adat, dimana tanah, hutan, dan adat istiadat mereka tidak lagi ada.

Suku Moi kini diambang kehancuran, jika ingin berdaulat diatas negeri sendiri, pastikan wilayah adat kita tidak diambil alih oleh korporasi. Kita akan menjadi kuat jika kekuasaan atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya ada dibawa penguasaan kita. Jangan berharap akan menjadi tuan dinegeri sendiri jika masuk dalam sistem politik yang hari ini telah merampas tanah dan hutan adat kita. Ini penting kita semua ketahui, sistem negara hari ini telah menciptakan keteragantung kepada kita. Kita dibuat tidak berdaya sehingga tidak ada pilihan, selain bergabung menjadi penindas dengan sistem yang mereka ciptakan. Jangan bermimpi merdeka untuk menjadi tuan dinegeri sendiri, jika kita masih terbelenggu dan tidak mau menentang sistem negara yang tidak adil.

Des 2022

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy