Yayasan Pusaka Bentala Rakyat meluncurkan Laporan Dokumentasi 10 tahun setelah MIFEE diberi judul: Torang Semua ini Hanya Jadi Penonton Saja Lumbung Pangan dan Riwayat Kegagalannya di Tanah Marind, pada 29 Agustus 2022
Laporan ini mendapatkan tanggapan dari antropolog dan aktivis, Dr. Laksmi A. Savitri, M.Si., yang juga menjadi penanggap dalam webinar pada peluncuran laporan. Isi tulisan ini merupakan tanggapan tertulis dari Laksmi Savitri, yang memberikan pengantar bahwa laporan ini memiliki beberapa kontribusi informatif, yaitu: memberikan informasi terkini dari kondisi masyarakat kampung di mana perusahaan dalam skema MIFEE masih beroperasi (Zanegi) ; memberikan gambaran mengenai kondisi kampung di mana MIFEE jilid 2 (dua) beroperasi ; menggambarkan kondisi masyarakat di lokasi di mana perusahaan dalam skema MIFEE sudah tidak beroperasi lagi (Domande).
Selain pembaruan data, laporan ini juga menawarkan beberapa pendekatan atau analisis dalam kacamata kritis, yakni: masalah gender dan reproduksi sosial, relasi eksploitasi dalam rantai komoditi kayu, hak atas tanah dan lingkungan, serta hak atas pangan dan penghidupan. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit kerangka konseptual yang digunakan, tetapi dapat dipahami bahwa penulis dan/atau editor menggunakan perangkat analisis ekonomi politik dan pendekatan hak.
Kerangka analisis tersebut kemudian melandasi argumen dari laporan ini bahwa “program lumbung pangan dan energi nasional telah gagal mencapai tujuannya sendiri, yakni memperkuat pangan dan memberdayakan komunitas setempat”. Singkatnya, menurut laporan ini Food Estate mengidap kontradiksi di tubuhnya sendiri.
Tanggapan Laksmi A. Savitri, Pertama, argumen mengenai ‘kontradiksi di tubuh sendiri’ barangkali perlu dicermati lagi, karena dalam Ito et.al (2014) misalnya, logika dari kebijakan MIFEE yang digariskan dalam MP3EI adalah mengubah krisis menjadi peluang (menjadi lumbung pangan dunia). Jika ini logikanya, maka bisa jadi tidak ada kontradiksi. Sebabnya, MEDCO di Zanegi terus berkembang dan dihidupi oleh relasi eksploitasi yang sukses, bahkan sudah mencapai daya hegemonik. Terbukti dari cara transaksi tanah dan kayu yang sebetulnya sangat manipulatif dan eksploitatif, tapi diterima oleh marga-marga di Zanegi sebagai jalan untuk menjadi ‘kotraktor kecil’. Maka dengan begitu, mereka bilang ‘menonton’ tapi sesungguhnya ‘aktif meniru’. Ini berbahaya bagi proses advokasi jika tidak diangkat dalam kesadaran pelaporan dokumentasi ini.
Kedua, konsep reproduksi sosial dan kerja perawatan sesungguhnya adalah konsep yang kuat. Di dalam laporan ini jika konsep reproduksi sosial didayagunakan maksimal, maka akan kelihatan bahwa kerja perempuan sebetulnya menjadi kunci dari kesuksesan perkembangan akumulasi kapital HTI (MEDCO). Jika Kerja perempuan mereproduksi kehidupan setiap harinya bagi para suami yang menjadi buruh informal kerja leles berhenti, lalu suaminya tidak bisa pergi bekerja karena tidak ada yang urus makan, maka proses akumulasi profit HTI akan terganggu. Bahkan, kerja ganda reproduksi dan produksi yang dilakukan oleh perempuan sudah bercabang kemana-mana menghasilkan keuntungan bagi banyak pihak. Biji akasia, misalnya, buka saja platform pasar digital, pasti bisa ditemukan hampir di semua aplikasi e-commerce. Kemudian, komodifikasi subsistensi yang semakin dalam, bahkan sudah memperkaya bukan hanya si mbak bakul sayur atau saudagar pinang dari Makasar, tapi pabrik sarden dan -celakanya- industri mie instan!
Dengan kekuatan konseptual dari reproduksi sosial dalam menjelaskan mata rantai akumulasi profit yang dimulai dari rumah para buruh, maka secara politis bisa ditunjukkan level strategis dari kerja domestik perempuan, yaitu kemampuan untuk menciptakan krisis pada kapitalisme.
Ketiga, analisis lebih luas dari peran domestik yang melekatkan anak pada ibu dan karenanya anak harus dibawa ke hutan dan meninggalkan sekolah, sesungguhnya memberi tanda bahaya, yaitu: krisis generasi orang asli Papua. Satu etnografi mendalam tentang penyebab anak putus sekolah di Zanegi menggambarkan kondisi yang miris dalam memandang kehidupan anak muda Marind ke depan, khususnya di wilayah-wilayah eksploitasi MIFEE. Jadi, dampak dari food estate ini bukan hitungan tahun tapi hitungannya generasional.
Keempat, sangat penting sebetulnya apabila memungkinkan, untuk mengontraskan kondisi masyarakat kampung yang terinkorporasi pada operasi profit perusahaan dan yang bebas dari jerat korporasi karena perusahaannya sudah hengkang. Pengontrasan Zanegi dan Domande, misalnya, akan memberi kesan yang kuat tentang bagaimana bentuk kehidupan tanpa terintegrasi pada sirkuit modal orang lain.
Kelima, terakhir, MIFEE jilid dua perlu pendokumentasian lebih rinci lagi untuk bisa sampai pada kesimpulan perbedaan pola inkorporasi dan perbedaan dampaknya pada masyarakat, baik Marind maupun non-Marind. Pada titik ini analisa rasialisme penting dioperasikan, mungkin untuk memperdalam sejauhmana relasi eksploitasi dibedakan secara rasial diantara mereka yang secara umum menjadi buruh di tanah sendiri.
Semoga laporan dokumentasi ini bisa terus dikembangkan data dan analisisnya.
Ank, Sept 2022