Orang asli Papua memandang alam atau hutan dan tanah tidak sekedar barang yang hanya bernilai ekonomis. Orang asli Papua melihat dan memahami alam atau hutan dan tanah selain bernilai ekonomis juga bernilai sosial, spiritual-ilahi, ilmu pengetahuan dan bernilai kesehatan. Karena alam atau hutan dan tanah mempunyai multi dimensi nilai bagi kebutuhan hidup manusia. Karena alam atau hutan dan tanah tidak sekedar memenuhi kebutuhan ekonomis, tetapi memenuhi juga kebutuhan yang lainnya, seperti kebutuhan spiritual-rohani, ruang sosial (ruang berinteraksi), obat-obatan (kesehatan), dan kebutuhan spikologis (rekreasi atau hiburan) serta kebutuhan ilmu pengetahuan.
Menurut Pastor Bernardus Wos Baru, OSA, dosen STFT Fajar Timur, Papua, dalam panel diskusi Konferensi Tenurial, bahwa hutan dan tanah bukan hanya material mati, yang tidak bernyawa, melainkan material yang hidup, bernyawa, berjiwa (anima) dan berdinamis (dunameis), berkekuatan atau berenergi dan berevolusi.
“Hutan dan tanah adalah tubuh manusia dan tubuh kosmik (antropomorfis dan kosmomorfis) yang menyatu secara haromoni dan saling berbagai hidup atau saling menghidupi. Bahkan alam dan tanah adalah tubuh Sang Ilahi yang menampakan atau menghadirkan wajah Sang Pencipta yang penuh rahasia atau penuh misteri. Jadi, alam dan tanah rusak berarti kehidupan manusia dan mahluk hidup yang lain serta segala yang ada di alam dan hutan mengalai disharmoni, sehingga berakibat pada bencana dan kematian, bagi manusia, mahluk hidup yang lain dan seluruh yang ada di alam dan tanah”, jelas Dr. Bernadus Baru.
Bagi orang asli Papua, manusia, hutan-tanah adat dan segala yang ada di dalamnya adalah satu kesatuan utuh, yang tak terpisahkan satu sama lain, satu kesatuan yang utuh, saling ketergantungan (the wholeness in unity and harmony). Karena itu, ketika terjadi kerusakan hutan-tanah adat, pasti akan berdampak negatif baik, secara langsung maupun tidak langsung kepada kehidupan manusia. Karena cara pendekatan pembangunan yang berorientasi ideologi kapitalisme ini, sehingga melahirkan berbagai krisis bagi orang asli Papua.
Situasi krisis agraria Papua hari ini, hampir sebagaian besar tanah adat atau hutan adat di Tanah Papua telah dicaplok dan dieksploitasi secara besar-besaran oleh berbagai perusahaan multi nasional dan internasional. Jutaan hektar tanah adat orang asli Papua, telah dirampas, diduduki, dan dieksploitasi secara sewenang-wenang oleh pihak pengusaha yang berkolaborasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah serta di-back upoleh TNI-POLRI. Misalnya berbagai perusahaan HPH, MIFE (Merauke Integrated Food and Energy) dan MIRE (Merauke Integrated Rice Estate) tahun 2006 di Merauke, berbagai perusahaan kelapa sawit, pertambangan, kawasan ekonomi khusus (KEK) di Sorong, PT. Freeport McMoRan, dll.
“Perampasan tanah adat ini, semata-mata demi memenuhi kebutuhan ketamakan perusahan-perusahaan. Inilah mentalitas orligarki dan timokrasi yang didayai oleh nafsu epithumia, mengabaikan nilai prikemanusiaan dan keadilan”, kata Pst. Bernardus Baru, OSA
Dampak buruk investasi mengakibatkan hutan hilang – punah degan begitu cepatnya, hilang kesempatan untuk memperlambat perubahan iklim, dan secara umun, hilangnya kesempatan sumber-sumber daya alam bagi kelangsungan hidup anak cucu di masa yang akan datang. Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu masif dan cepat, membawa banyak dampak negatif terhadap penduduk pribumi atau masyarakat asli Papua.
Bisnis keruk dan eksploitasi manusia dengan dalih “memberadabkan” berhubungan dengan superioritas tras dan keunggulan ilmu pengetahuan, yang dilakukan oleh kelompok dominan kepada bangsa terjajah. Kolonisasi membawa dominasi mentalitas yang disusun atas komponen penguasaan akan tubuh serta struktur sosial-politik dan ekonomi.
Pastor Bernardus Baru OSA menjelaskan bahwa para kolonial menciptakan sistem pendidikan kolonial untuk mencetak para elit pribumi dan hirarki tradisional yang bertujuan untuk menunjang kepatuhan dan ketertiban rejim pengetahuan kolonial. Perlu ada upaya perlawanan dan resistensi terhadap kebijakan dan cara berfikir kolonial yang disebut dekolonialisasi.
Gerakan dekolonisasi mengagendakan kedaulatan total mulai dari sumber daya alam sampai ilmu pengetahuan. Merebut kembali pengetahuan Reclaiming Knowledgeyang sebelumnya dikonstruksi oleh penjajah. Pengetahuan yang memihak dan memberikan suara kepada kaum pribumi untuk memaknai masa lalunya untuk kemudian menentukan nasibnya sendiri pada masa mendatang.
Bangun gerakan dekolonisasi adalah upaya kaum pribumi membongkar pengetahuan penjajah dan membangun kesadaran kritis dan kebanggaan atas pengetahuan pribumi, selanjutnya dapat melakukan transfer antar generasi”, jelas Bernardus Baru.
Mengutip Linda Tuhiwai (2021) pelopor metode dekolonisasi dari Selandia Baru, dijelaskan bahwa dekolonisasi merupakan upaya tanggungjawab etika terhadap pengembangan metodologi intelektual masyarakat pribumi yang sangat terkait dengan tanah, tempat, sejarah, konteks daripada klaim otoritas universal atas pengalaman dan pernyataan orang-orang atas nama mereka sendiri. Upaya dekolonialisasi pengetahuan atas masyarakat tradisional atau masyarakat pribumi adalah upaya pembebasan dari struktur yang mendominasi. Dalam pandangan Kanaka Oiwi (masyarakat pribumi dari Hawai’i) upaya dekolonialisasi ini sebagai bentuk kemerdekaan dan penentuan atas keberadaan keaslian diri sebagai manusia bereferensi kepada tempat leluhur walau telah terjadinya migrasi atau perpidahan. Pengetahuan masyarakat pribumi dapat memberikan peluang pembebasan pada masa depan untuk upaya mengembangkan pengetahuan masyarakat pribumi dari kukungan atau penjajahan pengetahuan kolonialisme Barat.
Ank, Okt 2023