Pada 13 Maret 2023 lalu, perwakilan Suku Awyu, asal Kampung Bangun, Distrik Fofi, Kabupaten Boven DIgoel, Provinsi Papua, Hendrikus Woro, melayangkan gugatan terhadap pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura berkenaan dengan kebijakan dan tindakan penerbitan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam seluas 36.096,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, pada tanggal 2 November 2021.
Hendrikus Woro, Kepala Marga Woro dari Suku Awyu, penguasa tanah adat, yang mendiami hutan adat di Kali Mappi, beralasan keputusan tergugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa SK 82/2021 diterbitkan dengan melanggar dan mengabaikan hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan bebas sejak awal sebagaimana UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, objek gugatan menggunakan izin lokasi kedaluarsa, menggunakan AMDAL bermasalah karena tanpa melibatkan marga Woro dan masyarakat luas, yang mengancam hilangnya hak masyarakat adat atas sumber kehidupannya.
Terjadi ancaman dan tindakan kekerasan terhadap warga yang menolak perusahaan. Hal mana tidak sejalan dengan prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) yang terkandung dalam Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (2007) yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia. Keputusan tersebut mengabaikan dan bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mana objek sengketa diperkirakan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim.
Areal konsesi perusahaan PT Indo Asiana Lestari berada di kawasan hutan alam seluas 36.247 hektar, yang diperkirakan dalam proses penggusuran dan penghilangan hutan untuk pengembangan lahan akan menghasilkan emisi karbon (CO2) sebesar 25 juta ton. Keputusan ini jelas bertentangan dengan komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) pemerintah Indonesia untuk pengurangan emisi karbon dan UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement terkait Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim, dan ketentuan lainnya.
Gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim yang dikawal dan didampingi oleh Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, meminta Majelis Hakim menyatakan tidak sah atas SK 82/2021, menghukum DPMPTSP Provinsi Papua untuk mencabut SK 82/2021, memerintahkan tergugat untuk menghormati hak masyarakat adat dan melindungi hutan adat Papua. Dalam perkara ini, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) turut menjadi pemohon Penggugat Intervensi yang telah disampaikan kepada Majelis Hakim PTUN Jayapura pada 13 April 2023.
Eksepsi Tergugat
Pejabat Kepala DPMPTSP Provinsi Papua telah menyampaikan tanggapan eksepsi melalui sidang ecourt(pengadilan secara elektronik) pada 30 Mei 2023, bahwa tergugat menolak dalil penggugat karena SK82/2021 ditetapkan sesuai dengan kewenangan pemerintah, proses dan substansi muatan sudah sesuai persetujuan lingkungan hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tergugat juga menolak penggugat karena bukan bagian dari pemilik hak ulayat yang terkena dampak langsung dari ANDAL dan RKL – RPL.
“Penggugat Marga Woro bukan bagian dari pemilik hak ulayat yang termasuk dalam masyarakat yang terkena dampak langsung dari kajian ANDAL dan RKL RPL”, tanggapan eksepsi tergugat disampaikan oleh kuasa hukum Elsius Fred Aragae, SH., MH, Anton Y Koibur, SH., MH., Wasti Silfiana, Wai, SSTP., M. Ec. Dev., Jemmy Richard Yap, SP., MM., Boaz Wakur, SIP.
Hal ini berdasarkan kajian penentuan suku/marga dalam wilayah kajian, sudah dilakukan dengan cermat karena telah disertai pengambilan data lapangan. Proses pembahasan kerangka acuan ANDAL melibatkan masyarakat adat, Pemerintah Kabupaten Boven Digoel juga mengetahui warganya.
Terhadap dalil penyusunan Amdal cacat prosedur dan substansi, tergugat menanggapi penerbitan objek sengketa SK 82/2021 sudah sesuai Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam eksepsi Tergugat II Intervensi, Direktur perusahaan PT Indo Asiana Lestari, Tan Yao Zhu, asal Malaysia, menanggapi atas gugatan lingkungan yang kejadian sama sekali belum terjadi.
“Pembahasan tentang menilai kerusakan lingkungan dan bukan pula masuk kepada ranah Pengadilan Tata Usaha Negara maka penilaian terhadap dampak lingkungan yang sama sekali belum dapat dibuktikan oleh Penggugat, sudah sepantasnya untuk ditolak”, tanggapan Tergugat II Intervensi.
Senada dengan Kepala DPMPTSP Papua dan Tergugat II Intervensi, Direktur perusahaan PT Indo Asiana Lestari, Tan Yao Zhu, asal Malaysia, berpandangan bahwa pemberian perijinan pengelolaan perkebunan perkebunan sawit merupakan bahagian dari menjalankan amanat undang-undang dalam lingkup pertumbuhan ekonomi dan taraf hidup masyarakat disekitar lokasi perkebunan.
“Perlu dijelaskan bahwa tergugat dalam menerbitkan SK 82/2021 tidak melanggar asas kemanfaatan, justeru tergugat memberikan nilai manfaat bagi masyarakat pemilik hak ulayat yang terdampak, secara ekonomi sosial dari kegiatan tersebut, untuk memberikan kesejahteraan masyarakat dan manfaat bagi daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)”, tanggapan Kepala DPMPTSP Provinsi Papua.
Hutan Papua Benteng Terakhir
Dalam replik Penggugat menanggapi bahwa Kepala DPMPTSP Papua dan pimpinan perusahaan PT Indo Asiana Lestari menyembunyikan fakta tidak menjalankan perintah untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam UU Otsus Papua dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Perintah UU Otsus Papua Nomor 2 Tahun 2021, Pasal 42 dan 43, setiap kegiatan investasi harus mengakui dan menghormati hak masyarakat adat, melibatkan masyarakat adat, bermusyawarah dengan masyarakat adat. Faktanya tergugat tidak melakukan ketentuan ini”, ditanggapi penggugat melalui kuasa hukum.
Mengenai penentuan suku/marga dalam proses kajian diduga telah terjadi kesalahan dalam proses dan pendataan, hal mana memperlihatkan kontradiksi objek gugatan dengan asas kecermatan dan profesionalitas.
“Pembatasan wilayah studi dampak hanya pada lokasi rencana usaha tidak cukup digunakan mengukur dampak dari rencana usaha perkebunan sawit skala luas, sehingga wilayah studi harus melingkupi wilayah lain diluar rencana usaha”, tanggapan penggugat.
Penggugat II Intervensi, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, dalam replik menanggapi eksepsi bahwa tergugat dan objek gugatan tidak melanggar asas kemanfaatan, bahwa asas manfaat harus diperhatikan secara seimbang dan adil sebagaimana UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 10 huruf b dan penjelasannya. Dalam objek sengketa ini diterbitkan tanpa memperhatikan kepentingan penggugat sebagai individu dan bagian dari kelompok masyarakat adat yang tidak menginginginkan hutan dan tanah adatnya rusak dan hilang, tidak memperhatikan kepentingan generasi mendatang penggugat, tidak memperhatikan kepentingan manusia dan eskosistemnya, tidak memperhatikan kepentingan perempuan.
Dalil adanya perizinan perkebunan kelapa sawit berguna bagi pertumbuhan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, menyerap tenaga kerja dan pembayaran pajak, dibantah Penggugat II Intervensi yang menganggap klaim tersebut tidak mendasar. Fakta data BPS Kabupaten Boven Digoel dan BKKBN menunjukkan signifikansi minimnya kontribusi perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam pembangunan, masih ada kasus stunting dan kemiskinan di wilayah Boven Digoel.
Walhi, Penggugat I Intervensi menyampaikan dalam replik dalam persidangan ecourt.
“Hutan Papua itu benteng terakhir kita menjaga dan memelihara hutan primer yang tersisa. Mungkin ada juga di Kalimantan dan Sumatera. Tapi, menyangkut luasnya yang besar, Papua itu dianggap benteng kita menjaga hutan alam. Peran hutan di Tanah Papua adalah memitigasi perubahan iklim secara global”.
Terbitnya objek gugatan tidak sesuai dengan peraturan dan kaidah ilmiah. Amdal gagal mengkaji dampak kumulatif dari pengoperasian perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit, seperti kajian dampak penurunan dan kualitas air sungai terhadap kesehatan masyarakat adat, gangguan penghidupan masyarakat adat atas kehilangan hutan.
“Penerbitan Objek Gugatan didasarkan simpulan yang keliru mengenai prakiraan mengenai besaran dan sifat penting dampak serta kemampuan pemrakarsa dan/atau pihak terkait yang bertanggung jawab dalam menanggulangi dampak penting yang bersifat negatif. Khususnya, terkait dampak-dampak penting, nilai-nilai kearifan sosial dan budaya yang tinggi terhadap eksistensi ekosistem hutan alam Tanah Papua, karena di dalam ekosistem inilah mereka menggantungkan segala kebutuhan dan kehidupan, makan-minum, kesakralan serta kesehatan tiap-tiap harinya”.
Masyarakat adat di Kampung Bangun (Yare), Kampung Kowo, Kampung Kowo Dua, Kampung Afu, Kampung Hello, Kampung Kaime, Kampung Memes, Kampung Piyes, Kampung Watemu, Kampung Obinangge, Kampung Uji Kia, Kampung Metto memanfaatkan hutan disekitar aliran sungai sebagai mata pencaharian dan sumber kehidupan, masyarakat masih memanfaatkan wilayah aliran sungai tempat untuk berburu / memancing ikan, menangkap buaya, memamfaatkan sebagai air minum secara langsung, memamfaatkan air untuk kehidupan sehari-hari.
Ank, June 2023