Hutan Sumber Hidup hingga Persaudaraan: Kesaksian Suku Awyu di Sidang Melawan Perusahaan Sawit

Siaran Pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua

Jayapura, 10 Agustus 2023. Gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, memasuki babak kedua pemeriksaan saksi fakta. Tiga orang anggota masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada Kamis, 10 Agustus 2023.

Mereka yakni Tadius Woro, Antonia Noyagi, dan Yustinus Bung. Sebelumnya pada 27 Juli lalu, dua orang juga bersaksi untuk menguatkan gugatan Hendrikus Woro melawan Pemerintah Provinsi Papua dan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Dalam kesaksiannya, Tadius Woro menjelaskan bahwa penggugat, Hendrikus Woro, benar merupakan ketua marga yang ditetapkan melalui musyawarah adat. Hendrikus Woro, menurut Tadius, juga bertugas mewakili marga Woro dalam perjuangan mereka memperjuangkan tanah adat lewat gugatan ke pengadilan ini.

“Semua anggota marga Woro dari moyang pertama, kedua, dan ketiga duduk berkumpul secara adat untuk mengangkat Hendrikus ‘Franky’ Woro sebagai pemimpin marga. Tujuannya mempertahankan tanah adat supaya hutan dan isinya, termasuk tempat keramat, tidak dibongkar perusahaan,” ujar Tadius, yang juga membawa hasil penting dari hutan seperti gaharu, pucuk sagu, sagu segar, pucuk dan daun nibung, serta sejumlah tanaman obat lain ke ruang sidang.

Kesaksian tentang pentingnya hutan adat juga disampaikan Antonia Noyagi, perempuan Awyu yang berasal dari Kampung Yare–sama dengan Hendrikus Woro. Antonia, yang selama ini mengelola wilayah adat milik marga Mukri dan Woro, khawatir keberadaan perkebunan sawit akan merugikan para perempuan Awyu.

Perempuan Awyu sangat bergantung pada hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan mendasar sehari-hari. Hampir saban hari mereka pergi ke hutan dan sungai guna mengambil sagu, mencari bahan obat-obatan, berburu dan memancing, mencari kayu bakar hingga kayu gaharu. Bahkan, ada kebiasaan perempuan-perempuan Yare pergi bersama ke hutan demi mempererat persaudaraan.

“Saya menghidupi sembilan anak sendirian sejak suami saya meninggal tahun 2004. Hingga sekarang anak-anak sudah ada yang menjadi prajurit TNI, ada yang berkuliah di Jawa, ada yang sekarang masih bersekolah. Itu karena hasil hutan. Kami hanya berharap dari alam. Kami tidak bisa melakukan apa pun tanpa alam yang lestari,” tutur Antonia.

Saksi ketiga, Yustinus Bung, adalah warga Kampung Yare dari marga Mukragi atau Mukri. Tanah adat marga Mukri berbatasan langsung dengan marga Woro ditandai dengan batas alam berupa kali. Seperti masyarakat Awyu lainnya, mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber hidup dan berharap hutan tersebut dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

Dalam kesaksiannya, Yustinus menjelaskan bahwa ia tidak pernah melihat pengumuman atau sosialisasi ihwal rencana beroperasinya perkebunan sawit di wilayah mereka. “Saya hanya dengar ada pertemuan di Kampung Ampera soal perusahaan dan tidak pernah tahu ada pembahasan soal amdal,” jelas Yustinus.

PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017, merujuk laporan Greenpeace Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh grup perusahaan asal Malaysia Whole Asia Group. PT IAL memperoleh lahan yang sebelumnya dikuasai PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.

“Ketiga saksi menjelaskan mereka hanya mendengar ada perusahaan yang masuk, tapi tidak pernah ikut dalam sosialisasi perusahaan atau pemerintah daerah. Jadi, bisa dipastikan bahwa amdal dibuat tanpa pelibatan dan persetujuan masyarakat. Ketiga saksi juga menggambarkan kehidupan rata-rata masyarakat suku Awyu yang tidak punya akses terhadap koran atau internet, sehingga pengumuman yang diklaim sudah dilakukan oleh perusahaan tidak menjangkau mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang terdampak,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu.

Kontak Media:

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy