Keadilan di Pengadilan dan Suara Masyarakat Adat

Sudah seminggu lamanya, masyarakat adat di Distrik Konda, Distrik Teminabuan, Distrik Wayer dan Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan, memperbincangkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar, tentang Rapat Majelis Hakim PTTUN Makassar pada 10 Agustus 2022, yang mengabulkan permohonan banding perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia, dan menyatakan batal Keputusan Bupati Sorong Selatan yang mencabut Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan dari kedua perusahaan tersebut pada Mei 2021 silam.

Masyarakat adat setempat resah jika putusan Majelis Hakim ini akan menjadi pembenaran bagi kedua perusahaan tersebut untuk dapat kembali beroperasi, dan merampas tanah serta hutan adat Suku Tehit, Suku Gemna, Suku Kais dan Suku Maybrat. Suku-suku ini berdiam di daerah konsesi perusahaan tersebut. Keseluruhan luas konsesi dua perusahaan itu diperkirakan sebesar 62.000 hektar.

Kitorang punya hutan hanya sepanggal, cukup untuk kehidupan manusia di kampung saja. Kalau perusahaan diberi izin untuk ambil hutan lagi, maka masyarakat hidup bagaimana dan dari mana?” gugat Yulian Kareth, tokoh masyarakat adat Suku Afsya dari Kampung Mbariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan.

Wilayah hidup masyarakat adat di Kampung Mbariat berada di atas urat tanah kawasan hutan di daratan Kali Bariat hingga ke daerah rawa dan hutan mangrove di sepanjang Kali Kaibus. Luasnya 3.196 hektar. Lebih dari separuh wilayah adat mereka menjadi sasaran perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa. Suku Gemna dan sub suku Mlakya secara formal memburaskan situasi ini melalui sidang adat.

Pertimbangan hukum Majelis Hakim yang disampaikan adalah seputar pertimbangan yuridis dari aspek prosedural. Antara lain seperti tenggang waktu pengajuan gugatan, prosedur penerbitan putusan, proses tahapan pemberian sanksi, kesalahan penulisan dan lain sebagainya.

Pertimbangan tersebut dirasa belum cukup adil, tidak mempertimbangkan suara masyarakat adat. Ia justru mengundang sikap miring terhadap negara, lembaga peradilan dan perusahaan, dikarenakan beresiko menimbulkan kerugian dan hilangnya hak rakyat.

Sebagaimana terungkap dari berita-berita di media, putusan pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut izin perusahaan dikarenakan adanya kerugian negara dan keinginan untuk meminta perusahaan bertanggung jawab.

Pemerintah berniat mencari perusahaan yang terindikasi mengangkut hasil hutan kayu dan yang mengsertifikatkan tanah untuk kepentingan perusahaan mendapatkan uang, dan merugikan negara. Pemerintah akan meminta perusahaan untuk mengembalikan atau mempertanggungjawabkan kerugian daerah.

Hal ini diungkapkan Yohan Hendrik Kokorule, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Sorong Selatan, setelah pemerintah mencabut izin-izin usaha empat perusahaan perkebunan di daerah Sorong Selatan, yakni PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agromulia, PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT Varia Mitra Andalan.

“Ini tidak akan terulang lagi. Karena perusahaan kelapa sawit, bisnis mereka ilegal”, tegas Yohan Hendrik Kokorule, di hadapan ratusan masyarakat adat yang melakukan aksi protes pada 20 Mei 2021.

Namun, dua perusahaan tersebut, PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia, anak perusahaan Indonusa Agromulia Group, menggugat putusan bupati tentang pencabutan izin melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada tanggal 29 Desember 2021. Masing-masing penggugat yakni PT Anugerah Sakti Internusa, dengan register perkara Nomor 45/G/2021/PTUN.JPR, dan PT Persada Utama Agromulia dengan register perkara Nomor 46/G/2021/PTUN.JPR.

Perusahaan menuntut agar putusan bupati tersebut dinyatakan batal atau tidak sah. Perusahaan berdalil bahwa putusan bupati yang mencabut izin perusahaan telah merugikan kepentingan perusahaan. Kerugian yang dimaksud yakni antara lain perusahaan tidak dapat melanjutkan kegiatan usaha perkebunan, terhentinya perundingan dan pembicaraan dengan pihak perbankan yang akan membiayai investasi, terganggunya kepentingan ekonomi masyarakat, dan juga kerugian besar karena mengeluarkan biaya pengurusan perizinan.

Dalil ini bertolak belakang dengan realitas sosial dan tuntutan masyarakat dalam aksi protes yang menolak keberadaan dan rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak sosialisasi pemerintah daerah dan tim evaluasi perizinan, yang hasilnya menemukan adanya kerugian negara, dan perusahaan tidak memenuhi kewajibannya, seperti memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling lambat tiga tahun, dan pelanggaran administrasi penerbitan izin usaha perkebunan tanpa izin lingkungan, serta kejanggalan administrasi lainnya.

Demikian pula, keterangan saksi di PTUN Jayapura, Frans Salmon Thesia, pejabat Kepala Distrik Teminabuan dan juga pemilik hak ulayat, menyampaikan tidak pernah kenal dan tidak pernah tahu aktivitas perusahaan. Ia tidak pernah tahu ada pemilik hak ulayat yang melepaskan tanahnya kepada perusahaan tersebut.

Menurut pendapat ahli Victor T.H. Manengkey, S.H., M.H., terkait kepentingan masyarakat, putusan bupati tentang pencabutan izin sebetulnya upaya menyelamatkan bukan hanya masyarakat setempat, tetapi menyelamatkan lingkungan hidup yang ada di tempat itu.

Majelis Hakim PTUN Jayapura berpendapat bahwa pengajuan gugatan perusahaan telah melampaui waktu 90 hari kerja sejak hasil upaya administratif diterima penggugat, sesuai Pasal 5 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No 6 Tahun 2018 tentang pedoman penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif.

Majelis Hakim PTUN Jayapura (23 Mei 2022) menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak diterima.

Lembaga peradilan idealnya haruslah menghasilkan putusan dan pertimbangan yang adil, mengutamakan keadilan, kebenaran, dan kepentingan perlindungan rakyat banyak dan keberlanjutan lingkungan.

Ank, Sept 2022

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy