Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua: Perlu Ditinjau Kembali Perizinan PT Indo Asiana Lestari

Ragam arti dan nilai hutan bagi masyarakat adat baik Wambon maupun Awyu menunjukkan bagaimana keterikatannya dengan hutan bukanlah persoalan pemenuhan kebutuhan praktis seperti makan semata. Hutan dan segala isinya adalah masa sekarang dan masa depan dari perempuan, masyarakat adat Wambon dan Awyu dan generasinya.

Pandangan  ini disampaikan Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua melalui pendapat amicus curiae yang ditujukan kepada Majels Hakim PTUN Jayapura yang tengah memeriksa perkara No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Gugatan yang dilayangkan oleh Hendrikus Woro sebagai penggugat. Organisasi akademisi ini berdalil penyampaian pendapat sebagai dukungan terhadap Majelis Hakim dan mempunyai kepentingan dalam mengadvokasi hak masyarakat adat di Tanah Papua.

Bagi perempuan adat, hutan arti yang lebih spesifik yakni sebagai tempat memenuhi kepentingan emosional, spiritual dan juga reproduksi sosial. Bagi perempuan adat, hutan, juga kali, adalah tempat mereka berefleksi, berdiam diri, menghibur dirinya di tengah berbagai tantangan hidup yang dialami. Untuk hidup dalam situasi ketertindasan karena ketersingkiran di pasar, struktur sosial hingga ketimpangan dalam rumah tangga yang membawa beban psikis bagi mereka. Bentang alam tersebut menjadi tempat untuk menyembuhkan dirinya secara emosional.

Kehadiran rezim investasi telah merampas ruang-ruang hidup masyarakat adat. Pada saat bersamaan, secara meyakinkan introduksi investasi dan kemajuan tersebut menyingkirkan orientasi-orientasi komunitas adat yang berkaitan dengan relasinya dengan tanah, ingatan, berbagi cerita, perjalanan, agama, keterlibatan dengan entitas non-manusia, dan pertemuan dengan negara dan marginalisasi.

Koalisi berkesimpulan agar Majelis Hakim melihat kembali bagaimana relasi kuat antara masyarakat adat dan hutan serta dampak-dampak utama yang muncul ketika ada pengalihan lahan. Berdasarkan alasan dan fenomena sebagaimana telah dikemukakan, maka terhadap izin yang diberikan kepada PT IAL untuk proyek Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang bersinggungan langsung dengan keberlangsungan hidup MHA Suku Awyu pada Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, perlu ditinjau lebih lanjut.

Pada bagian lain, Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua mengkritisi pendekatan pembangunan dan karakter utamanya yaitu top down, migrant capture paternalistic, dan eksploitatif yang secara sistematis mengesampingkan narasi dan partisipasi masyarakat adat Papua.

Pengaturan eksploitatif ini telah mengakibatkan terkikisnya pengetahuan adat, institusi tradisional, praktik dan nilai-nilai yang ada. Masyarakat adat Papua dipaksa untuk mengubah “sistem kehidupan” mereka yang berbeda dengan ‘proyek pembangunan’ yang dirancang semata-mata untuk kepentingan kapitalis maupun oligarki. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk mendamaikan budayanya dengan elemen-elemen pembangunan yang akan mempengaruhi penghidupannya.

Berdasarkan data Badan Pembangunan Nasional (BPS) tahun 2019, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia: masing- masing 60,84 persen dan 64,70 persen. Realitas lainnya adalah tergerusnya ruang-ruang penghidupan masyarakat adat. Atas nama pembangunan, konversi besar-besaran hutan menjadi perkebunan pun dilakukan dan menyebabkan hilangnya hutan di Tanah Papua. Menurut analisis Center for International Forestry Research (CIFOR), terdapat total 168.471 hektar hutan di provinsi Papua yang telah dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 2000 dan 2019 (Koalisi Indonesia Memantau, 2001). Bahkan CIFOR mencatat 87 persen deforestasi di Tanah Papua (2001-2009) terjadi di 20 kabupaten atau hampir separuh dari total kabupaten di Papua.

Koalisi Kampus untuk Demokrasi yang terdiri dari para akademisi yang berasal dari 6 perguruan tinggi di Kota Jayapura yaitu Universitas Cenderawasih, STIH Umel Mandiri, STISIPOL, USTJ, IAIN, Universitas Muhammadiyah Jayapura, menjelaskan aktivitas eksploitasi ternyata tidak serta merta meningkatkan penghidupan masyarakat di Papua, khususnya masyarakat adat sebagai kelompok yang paling terdampak.

Pembangunan seharusnya melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat, bukannya mengancam keberlanjutan penghidupannya, tegas pandangan Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua sebagai sahabat dalam pengadilan.

Baca disini: Amicus Curiae Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua atas Gugatan Suku Awyu

Ank, Okt 2023

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy