Politik Perizinan yang Merampas Hak Masyarakat Adat

Dorang punya hukum-hukum segala macam, dorang atur supaya torang punya tanah itu dorang pancuri dengan aturan

Ungkapan ini disampaikan oleh salah satu peserta aksi dalam orasi solidaritas di depan Kantor Bupati Jayapura. Aksi massa ini bertujuan menuntut pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perjuangan menyelamatkan Lembah Grime Nawa di Jayapura, Papua. Namun, ini bukan sekadar pernyataan melainkan pesan yang mengungkapkan situasi hukum (negara) saat ini. Hukum diproduksi tidak bertujuan untuk merubah, menata dan menertibkan kesemrawutan sosial agar tercapai kehidupan sosial yang adil, bermartabat, damai dan kesejahteraan rakyat banyak. Justru sebaliknya, digunakan penguasa untuk memperlancar kepentingan ekonomi, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan kelompok orang atau kelembagaan sosial ekonomi dan politik.

Menurut Alan Hunt (Wijaya, 2008) terdapat beberapa tema mengenai hakikat hukum. Pertama, hukum tidak dapat menghindar atau tidak dapat melepaskan dirinya dari politik. Kedua, hukum selalu potensial bersifat memaksa dan memanifestasikan (mewujudkan) monopoli negara atas beragam instrumen represif. Ketiga, isi dan prosedur yang terkandung dalam hukum, baik langsung maupun tidak langsung, mencerminkan kepentingan-kepentingan kelas dominan. Keempat, hukum itu bersifat ideologis, dengan demikian hukum menunjukkan dan menyediakan legitimasi kepada nilai-nilai yang melekat pada kelas yang berkuasa.

Kita juga mengalami dan menyaksikan, bagaimana hukum digunakan secara menyimpang “mengsubversi keadilan” untuk jadi alat memanipulasi, menggusur dan merampas hak-hak rakyat, hak atas tanah dan hutan, dan penghancuran lingkungan hidup. Menjadi alat represi untuk melakukan kekerasan dan pembenaran melakukan pembatasan. Situasi yang tidak ubahnya sejak masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda seperti peraturan tanam paksa yang mewajibkan warga tunduk pada kepentingan kolonial untuk menghasilkan komoditi komersial dan merubah pranata sosial. Pemerintah kolonial memberlakukan peraturan Agrarische Wet (1870) untuk melanggengkan akumulasi primitif dan investasi perkebunan skala luas dengan menancapkan hak legal atas tanah agar bisa dijadikan komoditas. Prinsip Domein Verklaring dalam peraturan ini menjadi alat perampasan tanah-tanah yang tidak digarap langsung, termasuk tanah adat, yang tidak bisa dibuktikan secara tertulis disebut “tanah tidak bertuan”, diubah statusnya menjadi tanah milik negara.

Peraturan Agrarische Wet (1870) dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang diharapkan mengakhiri hukum agraria penjajahan yang kelam dan tidak menjamin kepastian hukum. Namun perampasan tanah untuk kepentingan akumulasi kapital terus terjadi. UUPA 1960 diabaikan dan kebijakan baru pertanahan untuk kepentingan pasar bergonta-ganti.

Di Tanah Papua, perampasan tanah dan proses pemisahan hubungan masyarakat adat dari alat produksi dan subsistensi mereka (tanah dan hutan adat) sedang berlangsung. Proses ini mau tidak mau memaksa mereka menjual tenaga kerja ke pemilik sarana produksi untuk mendapatkan upah. Ekspansi kapital dengan cara primitif dan pengerukan hutan alam untuk menghasilkan surplus telah mengakibatkan kerusakan hutan (deforestasi), konsentrasi dan monopoli kekuasaan, serta eksploitasi sarana produksi, tanah, hutan dan kekayaan tambang mineral yang tak berkesudahan.

Daerah perbatasan teritorialisasi (negara) dan pedalaman yang minim akses infrastruktur konektivitas menjadi sasaran ekspansi kapital. Topografi dan sumber daya di daerah ini dibingkai sebagai ‘tanah kosong’, tidak produktif, hidup miskin, tertinggal, sehingga menjadi dalih untuk alasan perluasan proyek pembangunan dan usaha komersial. Hal ini diperkuat dengan klaim hutan negara dan rencana pemanfaatan geografi negara (RTRW). Klaim tanah dan hutan adat diakui dengan syarat harus dapat dibuktikan melalui peraturan daerah dan syarat ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang relatif tidak mudah dan mahal.

Berbeda dengan korporasi yang mendapat kemudahan dan kelancaran untuk mengantongi surat izin dari negara, pemerintah dan aparatus keamanan negara juga memperlancar urusan korporasi untuk mendatangi daerah ini dan bertemu penduduk asli dan tuan tanah. Perusahaan memohon tanah, hutan dan kekayaan alam, yang ditukarkan dengan uang kompensasi, janji lapangan kerja dan kesejahteraan.

Idealnya, kebijakan pembangunan dan pemberian izin usaha bisnis ekstraktif mengutamakan asas kepentingan umum bagi rakyat banyak dan daya dukung lingkungan. Asas kepentingan umum merupakan bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Pasal 10 ayat (1) huruf g, UU Nomor 30 Tahun 2014), dengan penjelasan asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.

Pemberian izin dan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), masih jauh dari asas kepentingan umum. Dalam konflik antara masyarakat adat Namblong dengan perusahaan kelapa sawit, PT PNM, pemerintah mengabaikan asas kepentingan umum. Pemerintah memberikan kumpulan izin, mulai dari lokasi, lingkungan, konversi kawasan hutan, usaha perkebunan dan hak guna usaha (HGU). Dalam proses ini, pengetahuan dan nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat sama sekali tidak dipertimbangkan. Akhirnya, masyarakat adat pemilik tanah dan warga negara semakin terpinggirkan.

Namun sejatinya, masyarakat adat di Lembah Grime Nawa mempunyai komitmen sosial dan moral pengetahuan yang diwariskan untuk mengelola dan memanfaatkan tanah dan hutan secara berkelanjutan. Hal ini tersirat dalam ekspresi dan keluhan peserta aksi dari masyarakat akar rumput yang menjadi korban konflik dan merasakan dampak akuisisi tanah.

“Tanah kami diambil, hutan sudah dirusak dan illegal logging masih berjalan…, kami tidak mau pembangunan yang merusak hutan, kami mau pembangunan yang ramah lingkungan, itu yang kami butuhkan”, tegas Mama Regina Bay.

Namun visi, pengetahuan dan praktik hidup mereka, belum menjadi prioritas pertimbangan pembangunan. Perkebunan cokelat, kopi, sagu, matoa, yang diusahakan secara mandiri dan menjadi sumber pendapatan keluarga, dan berkontribusi pada pendapatan negara, terancam digusur industri perkebunan kelapa sawit yang merusak dan menggundulkan hutan alam Lembah Grime Nawa.

Pemerintah daerah Jayapura telah mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan wilayah adat di daerah Lembah Grime Nawa, namun perusahaan tetap menggusur dan mengembangkan usaha secara ilegal. Bupati Jayapura mengeluarkan surat peringatan ketiga, perusahaan PT PNM belum bergeming.

Ank, Nov 2022

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy