Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Author

Admin Pusaka

Admin Pusaka

Peraturan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan

by Admin Pusaka Desember 31, 2022
written by Admin Pusaka
Desember 31, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Peraturan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah

by Admin Pusaka Desember 31, 2022
written by Admin Pusaka
Desember 31, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Peraturan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan

by Admin Pusaka Desember 31, 2022
written by Admin Pusaka
Desember 31, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Cerita dari Kampung

Hutan Bank Masyarakat

by Admin Pusaka Desember 26, 2022
written by Admin Pusaka

Hutan adalah bank yang menyimpan nomor rekening, artinya hutan menyimpan kekayaan alam dan sumber mata pencaharian yang menghasilkan uang dan makanan bagi kehidupan masyarakat.

Suku Awyu yang bermukim dipinggir Kali Mappi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, menyebutkan hutan dalam bahasa daerah disebut bisaha dan atau bitaha.

Masyarakat adat biasanya melakukan perburuan hewan liar, menangkap dan mennacing hewn air, mengumpulkan makanan tanaman sayur dan pangan lainnya dari hutan adat sekitar. Hari Ini masyarakat adat dapat berburu dan mendapatkan babi, untuk dijual dan dimakan. Masyarakat  melakukan kegiatan meramu dan memanen hasil hutan dan kebun pada waktu tertentu.

Saat ini, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari, hendak menggusur hutan adat, rawa, padang dan sungai sumber air. Masyarakat adat khawatir kehilangan sumber hidup, mata pencaharian dan somber pangan, karenanya masyarakat menolak rencana perkebunan kelapa sawit.

Desember 26, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Cerita dari Kampung

Perlindungan Tempat Penting Suku Kamoro

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka

Sagu, sungai, sampan, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Suku Kamoro, salah satu suku di Papua bagian selatan, yang berdiam di pesisir pantai, rawa, sungai, hingga hutan dataran rendah daerah di Teluk Etna hingga sungai Otakwa, Kabupaten Mimika. Sagu dan sungai tempat mencari dan menyediakan  sumber pangan, sedangkan sampan merupakan alat transportasi untuk mencapai kampung dan dusun pangan.

Suku Kamoro masih memiliki kepercayaan dan ritual adat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki norma dan adat untuk melindungi dan mentaga tempat ritual dan bersejarah. Namun, perusahaan-perusahaan dari luar masuk untuk memanfaatkan kekayaan alam, seperti kayu dan tambang mineral, dan pengembangan usaha perkebunan, yang menggusur dan merusak tempat kramat dan tempot ritual, yang disucikan Suku Kamoro.

Beberapa waktu silam, perusahaan PT Pusaka Agro Lestari (PAL) mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah adat Suku Kamoro di Kampung Kiyura dań Iwaka, perusahaan menebang dan menggunduli hutan adat milik masyarakat hingga puluhan ribu hektar. Perusahaan juga menggusur dan menghilangkan tempat penting masyarakat adat Kamoro, seperti dusun pangan, tempat ritual adat, tempat keramat, dan sebagainya.

Pada September 2021, PT PAL secara sengaja telah melakukan perbuatan yang diduga sebagai langkah untuk menghindari semua tanggung jawab terhadap buruh dan masyarakat adat. PT PAL mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam permohonannya, PT PAL meminta agar Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan bahwa PT Pusaka Agro Lestari dalam keadaan pailit.

Masyarakat adat terdampak PT PAL menuntut hak-haknya dan meminta putusan penyelesaian kepailitan PT PAL, putusan pemberian dan pengalihan saham kepada perusahaan baru,  harus melibatkan masyarakat adat Kamoro. Pemerintah dań perusahaan juga harus menghormati dan melindungi hutan dan tempat penting bagi Masyarakat adat.

Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Kajian Hukum Implikasi Putusan Pailit PT Pusaka Agro Lestari di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka
Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Pernyataan Sikap KNPA: Batalkan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka

PERNYATAAN SIKAP
Komite Nasional Pembaruan Agraria

Perbaikan Peraturan Presiden Reforma Agraria Harus Kembali Pada Konstitusi dan UUPA 1960:
Batalkan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria!

Jakarta, 22 Desember 2022

Dari masa ke masa agenda reforma agraria di Indonesia berujung pada penyempitan dan pembelokan makna sejati Reforma Agraria. Petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya makin dijauhkan dari cita-cita kemerdekaan bangsa untuk berdaulat atas sumber-sumber agrarianya.

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) sejak 24 September 2019, pada Hari Tani Nasional (HTN) telah menuntut Pemerintah RI untuk melakukan perbaikan atas Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres 86). Pemerintah RI melalui Presiden dan Kepala KSP, Menteri ATR/BPN RI dan Menteri LHK berjanji akan melakukan perbaikan substansi Perpres 86 sesuai aspirasi dengan menjamin pelibatan KNPA, praktisi dan pakar yang kredibel.

Pada November 2022 lalu, Pemerintah melalui Kemenko Bidang Perekonomian melakukan diskusi publik membahas Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (RanPerpres RA). RanPerpres RA tersebut ditargetkan rampung di akhir tahun 2022, atau paling lambat awal tahun 2023. Padahal substansi RanPerpres RA masih jauh dari aspirasi Gerakan RA dan masyarakat. Bahkan draft versi Kemenko Perekonomian yang terakhir mengandung kontroversi, baik secara proses maupun substansi.

Berikut pokok-pokok masalah dan kontroversi dari RanPerpres Percepatan RA:

Pertama, Revisi dan penguatan Perpres RA disusun sepihak dan tertutup. Proses perumusan RanPerpres RA yang dipimpin kemenko tersebut berlangsung tanpa keterlibatan substansial dan setara dari Gerakan RA. Pemerintah untuk kesekian kalinya mengabaikan proses perumusan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak secara memadai, transparan, dan berhati-hati/seksama sesuai dengan sejarah dan dasar-dasar awal dari urgensi perbaikan. Sepanjang tahun 2019-2022, proses revisi berlangsung tanpa kejelasan proses dan dilakukan sangat tertutup. Tidak ada pelibatan aktif dan bermakna organisasi masyarakat sipil, utamanya Gerakan RA, serikat tani, organisasi masyarakat adat, serikat nelayan, perempuan, kelompok rentan dan pakar agraria yang kompeten serta kredibel.

Kedua, RanPerpres RA melanggar Konstitusi, Putusan MK dan mengkhianati UUPA 1960. RanPerpres RA yang tengah disusun Pemerintah mengingkari Konstitusi dan UUPA 1960, melainkan menggunakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) sebagai konsiderannya. Akibatnya prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, bahwa “tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak menjadi basis perumusannya, sehingga tidak berorientasi memudahkan rakyat mendapatkan keadilan sosialnya. Semangat liberal menempatkan tanah hanya semata barang komoditas (aset) masih kuat terkandung dalam rumusannya. RanPerpres RA juga mengikuti logika hukum UUCK yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91).

Inilah pembelokan utama dari proses perumusan revisi Perpres RA, sebab dengan mencantolkan UUCK sebagai dasar pertimbangan, maka pemerintah hendak menyandera kebijakan RA di Indonesia menjadi kontroversial seperti halnya UUCK. Jika disahkan, maka Perpres terkait RA kelak menjadi bagian dari produk hukum turunan langsung UUCK yang cacat secara konstitusional.

Ketiga, RanPerpres RA menghilangkan 7 (tujuh) tujuan fundamental Reforma Agraria. Salah satu kekuatan utama dan mendasar Perpres 86 adalah tujuh tujuan yang ditetapkannya, bahwa RA bertujuan untuk: 1) Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; 2) Menyelesaikan konflik agraria; 3) Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan berbasis agraria; 4) Mengurangi kemiskinan lewat penciptaan lapangan kerja; 5) Memperbaiki akses masyarakat pada sumber ekonomi; 6) Meningkatkan kedaulatan pangan; 7) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Dalam versi terakhir RanPerpres justru tujuan-tujuan penting ini dihilangkan.

Penghilangan tujuan-tujuan tersebut di atas menunjukkan orientasi hukum dan itikad yang tidak baik dari perumus RanPerpres RA. Padahal, tujuan RA dalam Perpres 86 menjadi tuntutan rakyat selama ini kepada Pemerintah. Tujuan-tujuan tersebut yang selama ini dinilai gagal direalisasikan, dan tidak pernah dijadikan indikator keberhasilan RA oleh pemerintah. Dengan menghilangkan tujuan-tujuan sejati dari RA, maka RanPerpres RA hendak disempitkan lagi sekadar bagi-bagi sertifikat tanah di wilayah non-konflik, tanpa bermaksud memulihkan ketidakadilan agraria dan hak konstitusional rakyat.

Keempat, TORA dari Badan Bank Tanah (BBT) adalah penyelewengan RA oleh UU Cipta Kerja, yang hendak diterus-teruskan melalui RanPerpres RA. RanPerpres RA mengikuti logika hukum yang sesat dari UUCK, yaitu memasukan proses RA ke dalam mekanisme pengadaan tanah bagi investor dan badan usaha besar. Padahal RA adalah perombakan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang. Tanah-tanah yang seharusnya dipercepat penyelesaiannya melalui RA, justru harus masuk dahulu ke dalam sistem Bank Tanah, dengan “gula-gula RA”-nya, bahwa setidaknya 30% tanah BBT ditujukan untuk RA. Logikanya, jalan sesat dan berliku ini membuat proses RA menjadi lebih panjang, sulit dan mudah dimanipulasi pelaksanaannya oleh BBT, yang memang sejak awal didesain sebagai mesin pengadaan tanah untuk kepentingan investasi dan badan usaha besar.

Pada tataran praktik BBT, tanah untuk kepentingan investasi (PSN, IKN, food estate, infrastruktur, KEK, pariwisata premium, investor sawit, bisnis tambang, dll) dengan kepentingan RA untuk rakyat akan saling tarik-menarik dan rentan conflict of interest oleh BBT. Dalam skema BBT, petani, nelayan, buruh tani, masyarakat adat, perempuan, rakyat miskin kota dan kelompok rentan lain ibarat harus bersaing dengan kelompok investor dan perusahaan yang bersifat lapar tanah dan kuat dari sisi modal dan jejaring elitis. TORA dari BBT juga akan memiliki skema yang berbeda, yaitu melalui bentuk Hak Pengelolaan (HPL) yang diciptakan UUCK.

Kelima, Tidak ada perbaikan kelembagaan yang mendasar dalam RanPerpres RA. Salah satu poin revisi yang mendasar dari Perpres 86 adalah mengenai perubahan kelembagaan, sebab inilah salah satu penyebab lebarnya gap antara janji dan implementasi riil RA di lapangan. Mengingat agenda RA berkaitan dengan masalah agraria yang kronis dan bersifat struktural, ego-sektoral kementerian/lembaga yang tak kunjung tuntas, serta otorisasi kepemimpinan lembaga yang menuntut terobosan politik sekaligus hukum, maka kepemimpinan langsung Presiden untuk mengawal dan memimpin RA secara nasional dan otoritatif adalah mutlak.

Sayangnya, dalam RanPerpres RA kepemimpinan lembaga pelaksanaan RA tetap diletakkan pada tingkat kementerian, yakni oleh Menko Perekonomian. Dualisme sistem pertanahan di Indonesia, yaitu antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK sebagai sumber masalah agraria dan konflik agraria akan terus berlangsung. Begitu pun masalah agraria terkait konflik agraria PTPN dan Perhutani, Menko Perekonomian gagal menjalankan amanat RA atas BUMN. Jika demikian, pelaksanaan RA di Indonesia kembali nihil terobosan dan penyelesaian secara konkrit dan cepat.

Keenam, rumusan RanPerpres RA belum serius dalam mendorong terobosan hukum untuk menuntaskan konflik agraria dan meredistribusikan tanah terkait klaim (aset) perkebunan negara (PTPN).
Opsi penyelesaian konflik agraria yang disebabkan oleh perusahaan BUMN (PT Perkebunan Negara; Perhutani/Inhutani) dalam RanPerpres RA, masih seputar hak atas tanah yang memiliki jangka waktu (bersifat sementara) dalam bentuk hak pengelolaan (HPL) atau hak pakai (HP), dan/atau diserahkan sesuai kesepakatan para pihak serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya akan dilanggar terus hak konstitusionalnya atas sumber-sumber agraria utamanya tanah.

Alasan Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan terkait kesulitan penghapusbukuan aset negara dalam PTPN, akan terus berlanjut untuk menutupi kebobrokan bisnis negara yang banyak menimbulkan konflik agraria struktural dan kerugian keuangan negara. Padahal penyelesaian konflik agraria akibat PTPN tidak hanya melalui penghapusbukuan aset negara, melainkan juga dapat melakukan upaya koreksi terhadap kesalahan sejarah perampasan tanah rakyat untuk konsesi perkebunan skala luas.

Ketujuh, rumusan RanPerpres RA minus terobosan hukum untuk menuntaskan konflik agraria terkait kehutanan. Dualisme pertanahan antara tanah kawasan hutan (forest land) dan tanah bukan kawasan hutan (non-forest land) masih kuat diadopsi di dalam RanPerpres. KLHK memiliki kewajiban pelaksanaan RA seluas 4,1 juta hektar, sayangnya selama 8 tahun terakhir para petani, buruh tani dan masyarakat adat menemui jalan buntu– terus menerus dipaksa dan diberi opsi perhutanan sosial tanpa melihat historisitas, hak-hak konstitusional dan situasi eksisting di lapangan. Itulah mengapa kita selalu memanen capaian buruk RA terkait konflik agraria kehutanan.

Penggabungan revisi Perpres 86 tentang RA dengan Perpres 88/2017 terkait penyelesaian masalah pertanahan terkait hutan tidak akan mengubah apapun, kecuali ingin melanggengkan terus asas domein verklaring atas nama kawasan hutan. Pelaksanaan RA terhadap praktik Negaraisasi Hutan (hak menguasai dari Negara yang menyimpang) masih sangat jauh dari aspirasi masyarakat selama ini. Monopoli Perhutani/Inhutani di seluruh Jawa dan Lampung, bisnis kehutanan (HTI, konservasi, tukar guling untuk bisnis tambang dan food estate/korporasi lumbung pangan, dll) dan masalah agraria desa-desa/perkampungan yang tumpang-tindih dengan klaim kehutanan harusnya menjadi prioritas RA.

Dalam RanPerpres, tidak ada prioritas RA bagi desa-desa yang berkonflik dan/atau mengalami ketimpangan, daerah kantong-kantong kemiskinan, tanah pertanian dan perkebunan produktif rakyat, dan wilayah adat untuk segera dikeluarkan dari klaim-kalim kawasan hutan. Bagaimana mungkin ladang-ladang yang menjadi lumbung pangan nasional dan desa-desa definitif masih terus diklaim Negara atas nama Kawasan Hutan? Sama halnya dengan konflik agraria PTPN, Negaraisasi hutan di masa lalu yang “terlanjur” memasukan kampung-kampung dan tanah pertanian rakyat, memerlukan terobosan hukum sebagai usaha negara untuk melakukan koreksi mendasar atas kesalahan masa lalunya.

Kedelapan, tidak ada subjek prioritas untuk memastikan pelaksanaan RA betul-betul dinikmati rakyat yang berhak dan bebas dari para penumpang gelap (mafia, calo dan elite captures). Dari sisi subjek, Ranperpres RA sudah mengakomodir tuntutan untuk menghapus TNI, Polri dan PNS sebagai subjek RA. Akan tetapi lagi-lagi tidak ada penekanan prinsip dan tata-cara pelaksanaan pelaksanaan RA agar subjek prioritas seperti petani kecil, buruh tani, nelayan dan landless/penggarap (orang miskin tak bertanah) yang masih bergantung pada tanah dan sumber agraria, yang betul-betul mendapat dampak positif dari RA. Usulan masyarakat adat dan perempuan sebagai bagian dari subjek hukum RA tetap tidak dimasukkan sebagai bagian dari subjek hukum RA.

Subjek RA “orang-perseorangan” pada RanPerpres RA tidak menekankan kriteria yang adil secara sosial, ekonomi dan gender, termasuk penekanan aspek masyarakat yang sudah menguasai dan menggarap tanah dengan itikad baik, historitas penguasaan tanahnya dan dilakukan dengan cara-cara yang transparan. Kewenangan Menko Perekonomian menentukan jenis pekerjaan lain yang dapat menjadi subjek RA, merupakan celah konflik kepentingan dan dapat menjadi celah masuknya kembali para penumpang gelap (free riders), mafia tanah, koperasi abal-abal, keluarga pejabat, elit bisnis-politik yang tidak berhak justru mendapatkan tanah – kasus-kasus penumpang gelap RA marak terjadi di lapangan selama 8 tahun terkahir, bahkan difasilitasi sendiri oleh Pemerintah dan Pemda. Belum terlihat kseriusan pemerintah mengantisipasi ini dalam draft yang disusun.

Kesembilan, RanPerpres melanjutkan sesat fikir bahwa sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN. Reforma agraria yang disempitkan menjadi kegiatan pensertifikatan tanah adalah kritik terbesar Gerakan RA dan pakar hukum agraria selama ini. Inilah porsi terbesar klaim capaian pemerintah atas nama RA. Sayangnya justru RanPerpres melanjutkan kesalahan lama selama 8 (delapan) tahun ini. Capaian 9 juta hektar RA tetap dirancang dan dicampur-adukan dengan kegiatan administrasi pertanahan biasa (sebanyak-banyaknya jumlah bidang/sertifikat).

Selain itu, pendekatan asset reform dan access reform yang ultraliberal kembali menjadi formula RanPerpres. Jika dulu di pemerintahan SBY formulanya; “RA = asset reform plus access reform”, di masa Jokowi mundur selangkah lagi menjadi “RA = asset reform dan access reform”. Hal ini menimbulkan konsekuensi praktik buruk di lapangan. Seolah sertifikat saja, atau bagi-bagi tanah saja cukup, guremisasi tidak dikoreksi, HGU dihidupkan lagi di tengah guremisasi petani, lalu RA diklaim telah dijalankan. Sementara penguatan dan penataan ulang model produksi dan ekonominya pasca landreform tidak dijalankan. Seharusnya RA adalah landreform yang diperkuat, sebab di dalam RA transformasi sosial berbasis agraria yang hendak dicapai, bukan liberalisasi pasar tanah.

Jadi sertifikasi tanah bukan upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah). Bukan pula upaya Negara memulihkan hak korban perampasan tanah yang menjadi tujuan RA. Legalisasi aset yang disebut sebagai pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) tidak bisa serta-merta disebut RA. Penguatan hak (pensertifikatan) secara individual atau kolektif di dalam paket utuh RA hanya lah tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (landreform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik.

Negara Indonesia masih harus belajar dari pengalaman negara lain yang sukses menjalankan RA dan sungguh-sungguh mengevaluasi diri untuk memahami pemahaman basic tentang RA, yaitu dapat membedakan program pensertifikatan tanah biasa (dulu Prona, sekarang PTSL) dengan Reforma Agraria sebagai agenda politik bangsa.

Atas dasar pandangan-pandangan masalah di atas, maka kami dari KNPA mendesak:
Pertama: Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional.

Kedua: Perbaikan Perpres 86/2018 tentang RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK RI.

Ketiga: Rumusan perbaikan Perpres RA harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres 86 yang selama ini dituntut, dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif dan substantial. Sebab, rakyat dan gerakan masyarakat sipil bukan sekedar penerima manfaat dari hasil perumusan kebijakan, tetapi elemen penting bangsa yang harus terwakili secara setara dan bermakna.

Keempat: Menjamin transparansi proses yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK dan K/L lainnya;

Kelima: Sambil mendorong revisi Perpres RA yang konstitusional, pemerintah harus mengoptimalkan dan mempercepat penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah bagi rakyat kecil dan jaminan perlindungan atas wilayah hidup masyarakat dalam kerangka reforma agraria sesuai UUPA dan Perpres RA.

Keenam: Menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak-hak atas tanahnya, termasuk cara-cara penanganan konflik agraria dan pengadaan tanah yang bersifat represif di lapangan.

Ketujuh: Membatalkan UUCK yang liberal dan kapitalistik mengingat pelaksanaannya, termasuk produk hukum turunannya yang terkait Badan Bank Tanah, pengadaan tanah, PSN, KEK, ekspansi sawit, food estate, impor pangan, pengadaan tanah untuk IKN dll telah memperparah krisis agraria dan membahayakan agenda RA. UUCK menempatkan petani, masyarakat adat, buruh tani, nelayan, perempuan dan masyarakat miskin di ujung tanduk krisis agraria yang berlapis.

Demikian pandangan dan pernyataan sikap kami untuk menjadi perhatian para pihak. Terima kasih.

Hormat kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria:
– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
– Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
– Solidaritas Perempuan (SP)
– Bina Desa
– Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
– Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
– Serikat Petani Indonesia (SPI)
– Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
– Aliansi petani Indonesia (API)
– Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
– Sajogyo Institute (Sains)
– Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
– Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
– Lokataru Foundation
– Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
– Sawit Watch (SW)
– Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
– Perkumpulan HuMa Indonesia
– Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-Indonesia)

Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Kekerasan di Mappi: Aparat Bertindak Represif dan Eksesif

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka

Tidak ada peristiwa bentrok antar kelompok Suku Wiyagar dan Suku Yagai sebagaimana informasi yang beredar. Informasi yang menyebutkan bahwa aparat menembak korban pada saat memisahkan bentrok antara kelompok korban dan kelompok pelaku adalah tidak benar.

Hal ini disampaikan Koalisi Penegakan Hukum dan HAM di Papua dalam Siaran Pers (23 Desember 2022), yang menyampaikan hasil investigasi kejadian kekerasan dan penembakan warga sipil di Kepi, Kabupaten Mappi, terjadi pada Rabu, 14 Desember 2022. Ditemukan ada tiga peristiwa kekerasan Saat itu yang terjadi pada waktu dan tempat kejadian berbeda. Dalam peristiwa tersebut ada sembilan orang masyarakat dari daerah Menyamur yang menjadi korban penembakan, salah satu diantaranya meninggal saat dirawat di RSUD Mappi.

Peristiwa pertama pada pukul 16.00 WIT, penganiayaan oleh sekelompok orang yang sedang dalam pengaruh minuman alkohol terhadap korban bernama Martinus Base, warga Distrik Menyamur, dengan lokasi kejadian Simpang Emete, Kepi. Polisi berhasil menangkap satu orang dari kelompok pelaku kekerasan.

Keluarga dan warga Distrik Menyamur sekitar 50 orang mendatangi mobil tahanan pelaku dan merusak mobil patroli, merek amenuntut pelaku dikeluarkan dalam mobil.

Peristiwa kedua sekitar pukul 18.00 WIT,  bertempat di Pos TNI Kopasus terdengar suara tembakan sebanyak dua kali. Warga terkesan diprovokasi dan balas melempar pagar kantor Pos Kopasus, setelah itu terdengar bunyi tembakan beberapa kali yang diarahkan ke masyarakat. Akibat penembakan itu setidaknya ada 9 (Sembilan) orang korban dengan luka tembak dan dirawat di RSUD Mappi, Kilo 5, Kepi.

Peristiwa lain pada 17 Desember 2022, aparat kepolisian mengunjungi korban penembakan di RS Mappi. Salah satu korban, Moses Ero, yang mengalami luka tembak serius di paha kanan dan tidak mendapatkan pelayanan memadai, hendak turun dari tempat tidur, jatuh dan tidak sadarkan diri. Moses tidak tertolong dan meninggal.

Dalam Siaran Pers Koalisi disampaikan aparat menggunakan senjata api saat kejadian, tanpa didahului dengan pendekatan persuasive kepada  masyarakat korban, aparat langsung mengambil tindakan represif dan eksesif.

Koalisi merekomendasikan agar Komnas HAM RI melakukan penyelidikan terhadap perstiwa dugaan pelanggaran HAM; Koalisi jug ameminta kepada Kapolri dan pimpinan TNI melakukan penyelidikan terhadap aparat kepolisian dan TNI. Baca disin: Siaran Pers Koalisi Hukum dan HAM Papua – Kasus Kekerasan Mappi, Desember 2022

Pusaka mencatat peristiwa kekerasan di Kabupaten Mappi yang melibatkan aparat TNI, sebelum kejadian 14 Desember 2022, telah terjadi sebanyak dua kali, yakni penganiayaan melibatkan anggota TNI AL terhadap warga sipil di Kampung Sumur Aman, Distrik Menyamur,  pada 07 Januari 2022, dan penyiksaan TNI AD dari Yonif Raider 600/Modang terhadap dua warga sipil di Kampung Mememu, Bade, Mapi, pada 31 Agustus 2022. Penyiksaan terjadi selama 8 jam menyebabkan seorang warga tewas bernama Bruno Amenim Kimko.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan, sebanyak 10 prajurit TNI menolak menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan penyiksaan dua warga Kampung Mememu, Kabupaten Mappi, Papua. Dalam kasus ini, salah seorang korban akhirnya meninggal setelah mengalami tindakan kekerasan selama sekitar 8 jam.

Berdasarkan informasi, sebanyak 18 prajurit dari Satgas Yonif Raider 600 telah menjalani pemeriksaan dan ditahan di Denpom XVII/3 Merauke dan tumah tahanan Kodim 1707 Merauke Dalam perkara ini, sebanyak 10 prajurit TNI diperiksa menolak memberikan keterangan kepada Komnas HAM

Ank, Des 2022

Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers : Bupati Kabupaten Jayapura Tidak Memenuhi Janji untuk Mencabut Izin Usaha Perusahaan

by Admin Pusaka Desember 9, 2022
written by Admin Pusaka

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa
Hingga saat ini, perusahaan PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih terus melakukan aktifitas pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Daerah Lembah Grime Nawa, Distrik Nimbokran dan Unurumguay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Padahal, Bupati Jayapura telah menerbitkan surat keputusan agar perusahaan PT PNM menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan (Februari 2022), surat peringatan dan meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitas pembangunan perkebunan (September 2022 dan November 2022).
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, telah berkali-kali berdialog dengan pemerintah Kabupaten Jayapura di Kantor Bupati Jayapura. Pada dialog hari ini Jumat, 09 Desember 2022, yang dihadiri oleh Asisten I, Elphyna Situmorang ; Asisten II, Delila Giay ; Kabag Hukum, Timotius Taime. Kami meminta pemerintah konsisten dengan janji untuk memenuhi tuntutan mencabut izin usaha perusahaan PT PNM.
Faktanya, pemerintah Kabupaten Jayapura belum mempunyai sikap keputusan untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan, izin lokasi, izin lingkungan, izin usaha perkebunan dan Hak Guna Usaha, meskipun perusahaan disebutkan tidak dapat memenuhi syarat ketentuan dan perusahaan telah melakukan kelalaian atas surat peringatan dan pemberitahuan penghentian aktifitas.
Kami memandang pemerintah Kabupaten Jayapura tidak sungguh-sungguh mewujudkan penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
“Bupati tidak memenuhi janji-janjinya untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan PT Permata Nusa Mandiri yang melanggar hukum, merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat, dan penggundulan hutan. Pemerintah terkesan sengaja membiarkan permasalahan yang ada, di satu sisi perusahaan menjadi arogan dan sewenang-wenang, disisi lain masyarakat adat resah karena tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah”, kata Yustus Yekusamun, perwakilan masyarakat adat dan juru bicara Koalisi Lembah Grime Nawa.
Aktivis Perempuan Adat, Rosita Tecuari, menyoroti dan menyampaikan misi dan putusan Bupati Jayapura dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan program yang seolah-olah dapat melindungi hak masyarakat adat dan wilayah adat, namun tidak sepenuhnya mutlak memberikan kepastian hak untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Lembah Grima Nawa.
“Kampung adat diakui, tapi masyarakat adat tidak punya hak kuasa dan kelola atas tanah dan hutan adat, karena dikuasai dan dikelola oleh perusahaan. Bagaimana mungkin keputusan yang dihasilkan dapat dijalankan tanpa ada kuasa dan kewenangan masyarakat adat dalam mengatur dan mengelola tanah dan hutan adat”, ungkap Rosita Tecuari.
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, menduga belum adanya sikap dan putusan untuk pencabutan izin usaha perusahaan dikarenakan adanya kepentingan politik dan ekonomi, yang melibatkan kekuatan pihak-pihak tertentu dan berpotensi terjadinya pelanggaran hukum, dan tindakan koruptif. Karenanya, Koalisi meminta pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk mengawasi pejabat dan aktor yang berkepentingan dalam jejaring bisnis, serta aliran transaksi keuangan.

Jayapura, 09 Desember 2022

Kontak Person:
Yustus Yekusamun : +62 822-3441-5750
Rosita Tecuari : +62 823-1150-8559
Franky Samperante: +62 813 1728 6019
Asep Komarudin: +62 813-1072-8770

Desember 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Upaya Pembangunan Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya, Mengancam Hilangnya Hutan dan Tanah Masyarakat Adat Moi di Kabupaten Sorong

by Admin Pusaka Desember 4, 2022
written by Admin Pusaka

Oleh Ambo Klagilit

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah tetap menetapkan rancang undang-undang tentang pembentukan provinsi Papua Barat Daya (PBD) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke 10 masa persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, pada tanggal 17 November 2022. Penetapan RUU Prov. PBD menjadi UU tanpa mempertimbangkan aspirasi Orang Asli Papua yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut, karena kebijakan ini hanya akan berdampak pada konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Aksi-aksi penolakan yang dilakukan hingga menelan korban jiwa adalah bentuk nyata bahwa rakyat Papua tidak menghendaki kebijakan pemekaran yang sarat kepentingan.

UU PBD yang telah disahkan tersebut mencakup beberapa daerah kabupaten, terdiri dari: Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Maybrat, dan Kota Sorong. UU PBD menetapkan ibu kota Provinsi PBD berkedudukan di Kota Sorong. Namun, tim pemekaran berupaya mencari lokasi ibukota provinsi berada di luar Kota Sorong untuk pembangunan perkantoran yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi PBD. Ada beberapa tempat yang dalam pembahasan tim pemekaran, yakni tanah di wilayah perbatasan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan (wilayah Sub Suku Moi Salkhma) dan di wilayah Salawati (wilayah Sub Suku Moi Sigin). Rencana pusat pemerintahan dan ibukota provinsi berada di luar Kota Sorong, telah melanggar ketetapan UU tentang PBD tersebut.

Rencana pembangunan ibukota provinsi PBD di wilayah Sub Suku Moi Salkhma mendapat penolakan dari masyarakat adat Moi Salkhma di daerah Distrik Sayosa, Distrik Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Sunok, Distrik Klawak, Distrik Konhir, Distrik Salkma, dan Distrik Wemak. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penolakan masyarakat adat setempat, pertama, bahwa wilayah adat mereka merupakan pusat pendidikan adat bagi suku Moi terutama sub Moi Salkma, yang harus dilindungi oleh semua pihak. Kedua, pembangunan ibu kota PBD akan mengancam ruang hidup, tanah dan hutan adat.

Masyarakatadat di Kampung Garma, Distrik Sayosa Timur, Kabupaten Sorong, telah mengadakan diskusi untuk merespon rencana tim pemekaran. Mereka tegas menyatakan menolak rencana tersebut, karena wilayah adat mereka adalah pusat pendidikan adat suku Moi dan tidak bisa diperuntukan untuk pembangunan lain. Ketersediaan sumber daya manusia juga menjadi alasan mereka menolak. Penduduk kampung persiapan Garma, merupakan warga yang berasal  dari kampung Sailala dan kampung Kladuk Kabupaten Sorong.

Pemerintah terus menggunakan cara lama untuk merampas tanah masyarakat adat. Tim pemekaran berencana untuk bertemu dengan Dewan Adat Distrik Salawati, Distrik Moi Sigin, dan Distrik Segun, guna membahas lokasi yang akan dijadikan pusat pemerintah provinsi baru itu. Mereka rencanakan di wilayah Salawati. Pada dasarnya Dewan adat bukan pemilik tanah sehingga mereka tidak dapat mewakili marga-marga pemiliki tanah adat untuk membuat kesepakatan denagan pemerintah.

Lokasi ibukota Prov PBD yang mereka rencanakan di Salawati (Moi Sigin), merupakan wilayah eks PT Inti Kebun Lestari (IKL), IKL merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang izin nya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada 2021 lalu. Status tanah pada wilayah ini belum jelas apakah sudah menjadi milik masyarakat adat atau masih dikuasasi oleh pemerintah, sehingga pemerintah harus terlebih dahulu menjelaskan status tanah tersebut.

Perampasan tanah adat akan terus terjadi, pemerintah yang diberi kewajiban untuk melindungi masyarakat kini menjadi aktor utama merampas tanah dan hutan masyarakat adat Papua. Program transmigrasi oleh pemerintah Indonesia, telah merampas sebagian besar tanah adat masyarakat adat Moi di Sorong. Tanah dan hutan masyarakat adat Moi juga telah dikuasai oleh berbagai izin perusahan. Perusahaan HPH, PT Mancaraya Agro Mandiri menguasai tanah masyarakat adat Moi Seluas ± 97. 820 ha, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menguasasi hutan dan tanah adat suku Moi diantaranya PT Hendrison Inti Persada (HIP) memiliki Izin Usaha Perkebunan seluas 32.546,30 Ha, PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) memiliki seluas 38.300 Ha, PT Inti Kebun Sawit (IKS) memiliki seluas 37.000 Ha, PT Papua Lestari Abadi (PLA) memiliki seluas 15.631 Ha, PT Sorong Agro Sawitindo memiliki seluas 40.000 ha.

Selain itu, Kawasan Ekonomi Khusu (KEK) yang mengambil alih tanah masyarakat adat Moi seluas 523,7 ha dan perusahaan pertambangan batubara dengan luas ratusan hektar. Pemekaran PBD diperkirakan akan mengambil alih puluhan ribu hektar tanah.

Lebih lanjut, pembahasan lokasi pusat perkantoran provinsi PBD sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat Moi yang adalah subjek hukum sebagaimana Paraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tantang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Masyarakat adat Moi sebagai subjek hukum mempunyai hak untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk melindungi hak-haknya serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif oleh pemerintah dan pihak pihak lain.

UU Otsus Papua pasal 38 ayat 2 dan Pasal 42, juga menegaskan masyarakat adat Papua berhak menentukan bentuk pembagunan (ekonomi) seperti apa yang mereka butuhkan. Sehingga pemerintah dalam merencanakan sebuah pembangunan harus melibatkan masyarakat adat sejak awal perencanaan hingga tahap pelaksanaan, agar masyarakat adat diberi manfaat dari kebijakan tersebut. Yang paling penting adalah pemerintah harus tunduk pada prinsip-prinsi FPIC(Free Prior Informed Consent)

Pemerintah berdalil bahwa pemekaran dilakukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, mengatasi ketimpangan sosial. Rakyat Papua justru melihatnya dari sudut yang berbeda, mereka menilai pemekaran adalah politik pemerintah Indonesia untuk menguasai tanah Papua, pemekaran akan mendatangkan migran dalam jumlah yang besar. Mereka membayangkan nasib mereka akan sama seperti suku Aborigin di Australia dan banyak tempat lainnya, dimana masyarakat pribumi terpingirkan dan hidup dalam penderitaan. Kebudayan baru yang masuk beriringan dengan kedatangan para mingran akan mendominasi serta menghilangkan kebudayaan masyarakat pribumi. Akhirnya masyarakat pribumi kehilangan jati diri mereka sebagai masyarakat adat, dimana tanah, hutan, dan adat istiadat mereka tidak lagi ada.

Suku Moi kini diambang kehancuran, jika ingin berdaulat diatas negeri sendiri, pastikan wilayah adat kita tidak diambil alih oleh korporasi. Kita akan menjadi kuat jika kekuasaan atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya ada dibawa penguasaan kita. Jangan berharap akan menjadi tuan dinegeri sendiri jika masuk dalam sistem politik yang hari ini telah merampas tanah dan hutan adat kita. Ini penting kita semua ketahui, sistem negara hari ini telah menciptakan keteragantung kepada kita. Kita dibuat tidak berdaya sehingga tidak ada pilihan, selain bergabung menjadi penindas dengan sistem yang mereka ciptakan. Jangan bermimpi merdeka untuk menjadi tuan dinegeri sendiri, jika kita masih terbelenggu dan tidak mau menentang sistem negara yang tidak adil.

Des 2022

Desember 4, 2022 0 comment
2 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Musyawarah Adat Suku Amungme
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2021 Tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 121 Tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua
  • Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2021 – 2022

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo