Admin Pusaka
Kawasan Industri Pupuk Fakfak
Pada 23 November 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking pembangunan industri pupuk PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) di Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Jokowi juga meresmikan Bandara Udara Siboru di Fakfak dan proyek kilang gas Tangguh Train 3 di Kabupaten Teluk Bintuni. Tiga proyek ini merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua Barat tahun 2023.
Pabrik Pupuk Kaltim di Fakfak, Papua Barat, digadang-gadang merupakan perusahaan petrokimia berbasis gas alam terbesar di Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika Utara. Proyek bernilai investasi lebih dari US$ 1 miliar ini memiliki kapasitas produksi pupuk urea sebesar 1,15 juta ton per tahun dan 825 ribu ton per tahun untuk amonia. Pabrik baru ini akan mendukung ketahanan pangan bagi Indonesia dengan penyediaan 4,5 hingga 5 juta ton atau pemenuhan sekitar 70 hingga 80% kebutuhan nasional. Pasokan gas diperoleh dari perusahaan asal Malaysia, Genting Oil Kasuari Pte. Ltd yang beroperasi di Blok Kasuari, Papua Barat.
Pada awal Januari 2023, PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) resmi memulai penetapan proyek pembangunan Kawasan Industri Pupuk di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Hal itu ditandai Kick Off Ceremonyoleh Jajaran Direksi bersama Dewan Komisaris Pupuk Kaltim.
Direktur Utama Pupuk Kaltim, Rahmad Pribadi, mengatakan proyek kawasan industri pupuk di Kabupaten Fakfak Papua Barat telah ditetapkan pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Perekonomian sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Pupuk Kaltim pun diminta untuk segera merealisasikan pembangunan proyek tersebut.
“Pupuk Kaltim siap melaksanakan tugas ini sebagai amanah negara yang akan direalisasikan secara sungguh-sungguh, guna mendukung kedaulatan pangan nasional dan perekonomian bangsa,” kata Rahmad dalam keterangan tertulis (11/1/2023).
Dalam Peraturan Menko Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 dan Nomor 9 Tahun 2022 yang memuat Daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), ada ratusan PSN yang didaftar, sedangkan di Papua terdaftar proyek pengembangan Pelabuhan Sorong dan Arar ; bandara udara Nabire Baru dan Siboru, Fakfak ; Kawasan Industri Teluk Bintuni, Papua Barat dan Proyek Tangguh LNG Train 3, Papua Barat. Tidak terdaftar PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) sebagai bagian dari PSN yang direncanakan di Papua Barat. Proyek ini baru didaftarkan melalui Permenko Nomor 7 Tahun 2023, tertanggal 28 Agustus 2023.
Senator dari Papua Barat, Filep Wamafma, menanggapi legalitas dasar penetapan PSN Pupuk Kaltim yang hanya berdasarkan Kick Off Ceremony.
“Kita khawatirkan akan menjadi persoalan serius mengingat pengalaman sosial politik masyarakat di Papua Barat secara umum yang seringkali bersinggungan dengan pemerintah, terutama jika berhubungan dengan penggunaan lahan masyarkat adat,” ungkap Filep Wamafma melalui media (17/01/2023)
Kerikuhan ini beralasan, sebelumnya proyek pupuk ini telah menimbulkan kontradiksi dan kegaduhan soal kedudukan proyek di kalangan pengambil kebijakan yang melibatkan pihak-pihak, seperti bupati, menteri, serta tokoh masyarakat di daerah Bintuni dan Fakfak.
“Saat saya memindahkan itu bukan mulus tanpa tantangan, waktu saya pindahkan dari Bintuni ke Fakfak kan Bupati Bintuni ribut dan menyerang saya di media,” kata Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI pada media TribunPapuaBarat.com (11/8/2023), menceritakan pengalaman pertentangan dalam proyek Pupuk Kaltim.
Dukungan Keamanan
Persoalan status tanah dan mata pencaharian paling sering dibicarakan oleh masyarakat adat yang terancam dan terdampak proyek, termasuk rebutan klaim dan batas hak atas tanah di areal proyek. Pemerintah telah membicarakan dan menetapkan areal PSN Kawasan Industri Pupuk Fakfak berada diareal seluas 2.000 hektar dan diduga berada di kawasan hutan areal konsesi perusahaan penebangan hasil hutan kayu (HPH) PT Arfak Indra. Masyarakat setempat juga klaim lahan yang direncanakan adalah tanah adat dan kebun hutan pala.
Masyarakat di Kampung Fior, Distrik Arguni, Kabupaten Fakfak, belum memiliki detail informasi proyek, warga hanya tahu nama PT Pupuk Kaltim. Perusahaan yang diketahui bernama PT Papua Jaya pernah melakukan pengeboran dan pemasangan patok di tanah yang disebut titik pembangunan pabrik Pupuk Kaltim (6/11/2023).
“Kami masyarakat tidak pernah diberikan peta kawasan industri Pupuk Kaltim yang disebut sebut memiliki luas 2000 hektar dan bingung lokasi yang sebenarnya,” ujar Musa Sasim, penduduk Kampung Fior, yang diwawancarai Tim Investigasi Perkumpulan Panah Papua (November 2023).
Dalam Siaran Pers yang disampaikan Perkumpulan Panah Papua dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (24 November 2023), mengungkap keberadaan masyarakat adat terdampak di Kampung Fior, mereka berharap perusahaan tidak menutup dan menghalang-halangi akses mereka, tidak menggusur dan menghilangkan lahan kebun palawija, sayur-sayuran dan hutan pala, karena tanah dan hutan pala sumber nafkah mata pencaharian penduduk. Demikian pula, mereka yang berdiam dipesisir dan mempunyai mata pencaharian dari hasil laut, berharap agar wilayah mata pencaharian mereka di pantai dan di laut tidak tercemar dan rusak.
Gercep (gerakan cepat) sejalan dengan strategi dan kebijakan PSN, jurus percepatan dan dipermudah dilakukan pemerintah daerah dan nasional. Dalam PP 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, dijelaskan pengertian ‘kemudahan’ adalah segala bentuk kemudahan perizinan/non perizinan yang diberikan dalam rangka percepatan proses perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi dan kelancaran pengendalian operasi, termasuk mekanisme pembiayaan untuk proyek strategis nasional. Perusahaan dan pemerintah bergegas bertemu tokoh masyarakat adat dan lembaga adat, memfasilitasi prosesi adat dan bertemu wakil presiden dan pimpinan perusahaan di Kabupaten Fakfak pada Juli 2023 dan awal November 2023.
“Proyek ini telah termasuk ke dalam PSN (Proyek Strategis Nasional). Oleh karena itu, sesuai arahan presiden, harus kita kawal sampai tuntas. Jangan sampai ada gerakan tambahan yang menghalangi pelaksanaan PSN,” ujar Bahlil saat Kick-Off Meeting Pembangunan Kawasan Industri Pupuk di Kabupaten Fakfak, Senin (27/2/2023).
Pesan dari pak Presiden agar investasi ini dijaga baik-baik. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membantu dalam proses penyelesaian lahan, serta urusan adat dan istiadat dapat disinkronisasikan. Selain itu, juga perlu sinergitas antara kebutuhan lapangan pekerjaan di pabrik.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mendampingi Wapres Amin, Jumat (14/7/2023), mengingatkan supaya tidak ada masyarakat yang memprovokasi dan menghalangi untuk investasi. ”Palang sana palang sini, kalau demikian, sampai ayam tumbuh gigi tak akan datang investasi,” ujarnya kepada para tokoh agama dan masyarakat di Fakfak.
”Hak rakyat kami kasih yang pantas dan layak, tapi jangan ada yang pergi provokasi,” kata Bahlil.
Terkait masalah keamanan dan ketertiban rencana pembangunan PT Pupuk Kaltim, Bahlil sepenuhnya mempercayakan kepada aparat setempat, yakni Danrem 182/JO dan Kapolres Fakfak.
Direktur Utama Pupuk Kaltim, Rahmad Pribadi, menyampaikan harapan dukungan keamanan. “Kami membutuhkan dukungan dalam hal pengadaan lahan, percepatan izin, penyiapan lahan dan akses jalan, kepastian tata ruang, dan izin-izin terkait lainnya dari kementerian terkait. Kami juga membutuhkan dukungan keamanan dari Kepolisian RI dan TNI serta Kejaksaan Agung dalam pelaksanaan proyek ini,” tutur Rahmad.
Permintaan dukungan keamanan dalam arti pendekatan keamanan di Papua akan menimbulkan resiko buruk terhadap situasi Hak Asasi Manusia, terjadinya kekerasan, ketidakamanan dan ketakutan, yang seringkali dan berulang terjadi. Situasi keamanan di Fakfak tidak terlalu baik, baru saja Gubernur dan Pangdam Kasuari berkunjung ke Fakfak, dan mengirimkan pasukan TNI Polri, menyusul kejadian kasus kekerasan dan pembakaran Kantor Distrik Kramomongga dan Distrik Fakfak Tengah. (Agustus 2023).
Pendekatan keamanan ini akan bertentangan dengan komitmen Pupuk Kaltim atas penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam proyek pabrik baru ini, termasuk menjaga kualitas lingkungan sekitar dan perlindungan hak masyarakat.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam kunjungan ke Fakfak (14/7/2023) mengingatkan, rencana investasi Pupuk Kaltim ini perlu disertai pendekatan yang baik kepada masyarakat, tetap memperhatikan konservasi pantai dan memberi manfaat kepada masyarakat sekitar.
Proyek Cuan
Proyek Kawasan Industri Pupuk Kaltim dipastikan akan mendatangkan cuan dan keuntungan bagi investor dan perusahaan yang terlibat dalam pra proyek hingga pengembangan proyek, termasuk perusahaan produsen olahan dan distributor, perusahaan tenaga kerja dan pengadaan input produksi lainnya, dan sebagainya.
Berdasarkan kajian cepat Perkumpulan Panah Papua, ditemukan perusahaan kontraktor PSN Bandar Udara Siboru dan Kawasan Industri Pupuk Kaltim dikerjakan dan melibatkan perusahaan bernama PT Papua Jaya (PT PJ), yang salah satu pengurusnya Direktur PT PJ adalah Santoso Banda. Diketahui Santoso merupakan Direktur Operasional PT Bersama Papua Unggul (PT BPU). Berdasarkan Data Ditjen AHU Kemenhukham (2023), diketahui salah satu pemilik saham dan beneficial ownership dari PT BSU adalah Bahlil Lahadalia yang memiliki saham di PT BPU sebanyak 450 Lembar dengan nilai investasi RP 675.000.000. Patut diduga kedudukan dan hubungan Santoso selaku pimpinan PT BPU dan PT PJ, dan dengan Bahlil Lahadilia selaku Menteri Investasi dan Kepala Badan Penanaman Modal, yang juga selaku pemilik modal, dalam konteks kepentingan dan relasi bisnis perusahaan, dapat terjadi penyalahgunaan kewenangan jabatan untuk kepentingan bisnis dan kelancaran perusahaan tertentu dan mempengaruhi kebijakan keputusan proyek bagi perusahaan.
Demikian pula, keberadaan kepengurusan PT Pupuk Kaltim yang memiliki Komisaris Independen bernama Eka Sastra. Diketahui pula, Eka Sastra adalah Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia. Keberadaan dan posisi Eka Sastra mengandung konflik kepentingan dan dapat berpotensi menyimpang dan dipergunakan untuk memperlancar kepentingan dan relasi bisnis Pupuk Kaltim.
“Konflik kepentingan ada di sini. Mereka bisa menggunakan wewenang jabatannya untuk mencari keuntungan sebesar besarnya melalui proyek PSN”, ungkap Sulfianto, Direktur Perkumpulan Panah Papua.
Nilai investasi proyek Pupuk Kaltim ini diperkirakan sebesar Rp. 30 triliun yang didanai dari investor, bukan APBN atau APBD. Diperkirakan kawasan industri pupuk Fakfak ini bisa memproduksi pupuk urea sebanyak 1,15 juta ton per tahun dan ammonia 825.000 ton per tahun. Presiden Jokowi mengharapkan industri pupuk ini untuk ketersediaan pelaksanakaan program lumbung pangan (food estate) di Papua Selatan. Proyek raksasa ini diimpikan akan mendatangkan cuan dan membuka lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi daerah.
Penerima manfaat proyek adalah pihak perusahaan PT Pupuk Kaltim. Diketahui Pupuk Kaltim, BUMN yang berada dibawah PT Pupuk Indonesia Holding Company, melalui anak perusahaannya memproduksi jenis pupuk urea dan pupuk ammonia, salah satu produsen urea tertinggi di Asia dan pasar ekspor pupuk ke Australia dan negara-negara di Asia, seperti Thailand, India, Jepang , China, dan Meksiko, daerah Amerika Latin dan Amerika Serikat. PSN Industri Pupuk Fakfak akan menjadi pertarungan kepentingan, investor, pembeli dan produsen pengolah, serta bisnis ikutan lainnya, dan masyarakat setempat.
Proyek cuan maupun pengetahuan perubahan corak produksi pertanian ‘modern’ yang dihasilkan proyek industri pupuk ini, tanpa sistem pengamanan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan lingkungan hidup setempat, dapat beresiko berdampak merubah kehidupan masyarakat akar rumput, lingkungan hidup dan menghancurkan keharmonisan hidup yang sedang berlangsung saat ini.
Ank, Nov 2023
Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
Pada awal November 2023, Majelis Hakim PTUN Jayapura membuat putusan menolak gugatan Penggugat dari pemimpin Suku Awyu, Hendrikus Woro, dalam gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap pemerintah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan perusahaan PT Indo Asiana Lestari, sebagai Tergugat Intervensi.
“Kami menilai Majelis Hakim PTUN Jayapura salah dalam menerapkan pertimbangan-pertimbangan putusan. Dibandingkan putusan-putusan lingkungan lainnya, putusan PTUN Jayapura tidak menggambarkan perlindungan terhadap lingkungan dan keberadaan masyarakat adat”, ungkap Tigor Hutapea, kuasa hukum Masyarakat Suku Awyu.
Pejuang lingkungan hidup, Hendrikus Woro bersama Pembanding Intervensi telah melayangkan banding atas perkara ini ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado pada 22 November 2023, sebagaimana disampaikan dalam Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, 23 November 2023.
“Upaya banding ini dilakukan agar hakim memperbaiki putusan hakim PTUN Jayapura. Kami yakin Hakim Pengadilan Tinggi PTUN Manado akan lebih bijaksana memutus permohonan banding ini’ dengan berpedoman pada peraturan yang benar”, tegas Tigor Hutapea.
Upaya banding ini berdasarkan keyakinan bahwa PTUN Jayapura sebagai judex facti tingkat pertama telah salah menerapkan hukum, antara lain tentang: batas waktu gugatan, aspek prosedur dan substansi perkara pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (Perma 1/2023), tidak mempertimbangkan fakta hukum bahwa Prosedur Pengumuman Objek Sengketa Bertentangan dengan Pasal 50 Ayat 3 PP Nomor 22 Tahun 2021 dan kesalahan dalam memberi pertimbangan terkait partisipasi publik.
Lebih jauh sesuai kerangka asas umum pemerintahan yang baik, Hakim PTUN Jayapura luput menganalisis fakta bahwa objek sengketa juga bertentangan asas kearifan lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, kehati-hatian, ekoregion, keanekaragaman hayati, asas tertib penyelenggara negara, asas Kehati-hatian, asas keadilan, serta asas kemanfaatan.
“Putusan ini yang jelas-jelas melanggar hak masyarakat adat yang dijamin pada UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang dilakukan dengan cara menggunakan Surat LMA dan mengabaikan Fakta Hukum Penolakan yang dilakukan oleh Pimpinan Marga Woro. Atas dasar itu, harapannya melalui Upaya Banding ini Majelis Hakim Pemeriksa di PT TUN Manado nantinya dapat menegakkan Hak Masyarakat Adat Papua melalui putusan yang berprinsip pada dasar perlindungan hak masyarakat adat demi memberikan kepastian hukum bagi penerus Marga Woro yang akan mewarisi Hak Atas Tanah dan Hutan diatas Wilayah Adat Marga Woro,” tegas Emanuel Gobay, Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua
Aktivis Greenpeace Indonesia dan anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Asep Komarudin, menyampaikan bahwa pentingnya bagi publik untuk mengawal perkara ini bersama – sama dan Mahkamah Agung, karena perkara ini bukan hanya permasalahan administratif belaka, melainkan permasalahan Hak Masyarakat Adat yang dirampas dan bahkan tidak diakui keberadaannya.
“Gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim dikarenakan potensi dampak terjadinya perubahan iklim jika perusahaan melakukan pembukaan lahan yang akan melepaskan setidaknya 23 Juta Ton CO2, hal ini bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim”, jelas Asep Komarudin.
Bersamaan dengan pengajuan banding dari Hendrikus ‘Franky’ Woro, dua penggugat intervensi yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Walhi Eksekutif Nasional juga mengajukan banding atas keputusan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR yang telah mengabaikan prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam putusannya’–demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.
Baca Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua disini: 01. Siaran Pers – Pejuang Lingkungan Hidup Suku Awyu Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke PT TUN Manado
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia
Ank, Nov 2023
Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
Dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat. Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antar-Generasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang.
Pendapat ini disampaikan akademisi Universitas Gadjah Mada dan ahli hukum lingkungan hidup, I Gusti Agung Made (Igam) Wardana, S.H., LL.M., Ph.D. Igam dalam pendapat hukum atas Gugatan Lingkungan Hidup yang diperkarakan pemimpin masyarakat adat Awyu, Hendrikus Woro, berpendapat dalam perkara lingkungan, hakim juga dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat sesuai doktrin in dubio pro natura.
Prinsip Substansi Hukum Lingkungan belum menjadi pertimbangan majelis hakim PTUN Jayapura dałam Gugatan Lingkungan Hidup yang diperkarakan pemimpin Suku Awyu, Hendrikus Woro.
Kamis (02/11/2023), sidang Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, yang dipimpin Merna Cinthia, S.H., M.H., telah membuat putusan yang menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari. Putusan hakim tersebut menjadi kabar buruk dan kemunduran bagi perlindungan lingkungan hidup dan masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman penggundulan hutan oleh perusahaan kelapa sawit.
Hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa. Hal ini disampaikan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dalam siaran pers.
Baca disini Salinan_putusan_6_G_LH_2023_PTUN_JPR, Gugatan Lingkungan Suku Awyu, 021123
“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.
Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
“Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum.
Pejuang Lingkungan Hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura merasa kecewa dan sedih atas putusan majelis hakim yang tidak adil. Namun begitu Hendrikus bertekad tidak akan mundur memperjuangkan tanah dan lingkungan hidup.
“Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar. Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini. Meski satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan,” tegas Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.
Ank, Nov 23
Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua: Perlu Ditinjau Kembali Perizinan PT Indo Asiana Lestari
Ragam arti dan nilai hutan bagi masyarakat adat baik Wambon maupun Awyu menunjukkan bagaimana keterikatannya dengan hutan bukanlah persoalan pemenuhan kebutuhan praktis seperti makan semata. Hutan dan segala isinya adalah masa sekarang dan masa depan dari perempuan, masyarakat adat Wambon dan Awyu dan generasinya.
Pandangan ini disampaikan Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua melalui pendapat amicus curiae yang ditujukan kepada Majels Hakim PTUN Jayapura yang tengah memeriksa perkara No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Gugatan yang dilayangkan oleh Hendrikus Woro sebagai penggugat. Organisasi akademisi ini berdalil penyampaian pendapat sebagai dukungan terhadap Majelis Hakim dan mempunyai kepentingan dalam mengadvokasi hak masyarakat adat di Tanah Papua.
Bagi perempuan adat, hutan arti yang lebih spesifik yakni sebagai tempat memenuhi kepentingan emosional, spiritual dan juga reproduksi sosial. Bagi perempuan adat, hutan, juga kali, adalah tempat mereka berefleksi, berdiam diri, menghibur dirinya di tengah berbagai tantangan hidup yang dialami. Untuk hidup dalam situasi ketertindasan karena ketersingkiran di pasar, struktur sosial hingga ketimpangan dalam rumah tangga yang membawa beban psikis bagi mereka. Bentang alam tersebut menjadi tempat untuk menyembuhkan dirinya secara emosional.
Kehadiran rezim investasi telah merampas ruang-ruang hidup masyarakat adat. Pada saat bersamaan, secara meyakinkan introduksi investasi dan kemajuan tersebut menyingkirkan orientasi-orientasi komunitas adat yang berkaitan dengan relasinya dengan tanah, ingatan, berbagi cerita, perjalanan, agama, keterlibatan dengan entitas non-manusia, dan pertemuan dengan negara dan marginalisasi.
Koalisi berkesimpulan agar Majelis Hakim melihat kembali bagaimana relasi kuat antara masyarakat adat dan hutan serta dampak-dampak utama yang muncul ketika ada pengalihan lahan. Berdasarkan alasan dan fenomena sebagaimana telah dikemukakan, maka terhadap izin yang diberikan kepada PT IAL untuk proyek Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang bersinggungan langsung dengan keberlangsungan hidup MHA Suku Awyu pada Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, perlu ditinjau lebih lanjut.
Pada bagian lain, Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua mengkritisi pendekatan pembangunan dan karakter utamanya yaitu top down, migrant capture paternalistic, dan eksploitatif yang secara sistematis mengesampingkan narasi dan partisipasi masyarakat adat Papua.
Pengaturan eksploitatif ini telah mengakibatkan terkikisnya pengetahuan adat, institusi tradisional, praktik dan nilai-nilai yang ada. Masyarakat adat Papua dipaksa untuk mengubah “sistem kehidupan” mereka yang berbeda dengan ‘proyek pembangunan’ yang dirancang semata-mata untuk kepentingan kapitalis maupun oligarki. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk mendamaikan budayanya dengan elemen-elemen pembangunan yang akan mempengaruhi penghidupannya.
Berdasarkan data Badan Pembangunan Nasional (BPS) tahun 2019, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia: masing- masing 60,84 persen dan 64,70 persen. Realitas lainnya adalah tergerusnya ruang-ruang penghidupan masyarakat adat. Atas nama pembangunan, konversi besar-besaran hutan menjadi perkebunan pun dilakukan dan menyebabkan hilangnya hutan di Tanah Papua. Menurut analisis Center for International Forestry Research (CIFOR), terdapat total 168.471 hektar hutan di provinsi Papua yang telah dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 2000 dan 2019 (Koalisi Indonesia Memantau, 2001). Bahkan CIFOR mencatat 87 persen deforestasi di Tanah Papua (2001-2009) terjadi di 20 kabupaten atau hampir separuh dari total kabupaten di Papua.
Koalisi Kampus untuk Demokrasi yang terdiri dari para akademisi yang berasal dari 6 perguruan tinggi di Kota Jayapura yaitu Universitas Cenderawasih, STIH Umel Mandiri, STISIPOL, USTJ, IAIN, Universitas Muhammadiyah Jayapura, menjelaskan aktivitas eksploitasi ternyata tidak serta merta meningkatkan penghidupan masyarakat di Papua, khususnya masyarakat adat sebagai kelompok yang paling terdampak.
Pembangunan seharusnya melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat, bukannya mengancam keberlanjutan penghidupannya, tegas pandangan Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua sebagai sahabat dalam pengadilan.
Baca disini: Amicus Curiae Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua atas Gugatan Suku Awyu
Ank, Okt 2023
Akademisi Hukum Lingkungan IGAM Wardana: Hakim Harus Berani Menerapkan Prinsip Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Perkara lingkungan hidup mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya. Perkara lingkungan hidup merupakan suatu perkara atas hak yang dijamin di dalam konstitusi dalam hal ini adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perkara lingkungan hidup juga dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dengan pihak yang memiliki akses terbatas.
Pendapat ini disampaikan oleh akademisi hukum lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M., Ph.D., yang sering disapa IGAM Wardana, dalam Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae Brief) Dalam Perkara No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR terkait Gugatan Tata Usaha Negara mengenai Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.094,4 Hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua tertanggal 2 November 2021.
Karenanya, dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal ini adalah Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, yakni: Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); serta Prinsip meliputi: prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem, dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat karena perkara ini menyangkut hak Masyarakat Adat Awyu di Boven Digoel, Papua. Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antar-Generasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang.
Igam Wardana berpendapat bahwa dalam perkara lingkungan, Majelis Hakim dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat dalam putusannya sesuai doktrin in dubio pro natura.
Gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim yang diperkarakan pemimpin masyarakat adat Awyu di PTUN Jayapura merupakan litigasi perubahan iklim anti-regulatory yang menolak kebijakan negara karena dianggap bertentangan dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian, putusan yang dihasilkan oleh Majelis Hakim dalam perkara in casu akan menjadi pertaruhan sejauh mana pengadilan di Indonesia menjadi benteng terakhir dalam upaya mengatasi permasalahan krisis iklim yang sedang dihadapi oleh umat manusia.
AMDAL Menutup Mata dari Perkara Perubahan Iklim
Igam Wardana merupakan akademisi hukum lingkungan yang memiliki kepedulian atas perlindungan lingkungan hidup, menjelaskan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) memainkan peran instrumental dalam mengatasi perubahan iklim. Apabila rezim AMDAL didesain dengan baik, maka ia dapat difungsikan mengantisipasi dampak suatu kegiatan bagi perubahan iklim serta mengantisipasi kerentanan proyek dari dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi yang terintegrasi dalam rencana pemantauan dan pengelolaan dampak. Melalui AMDAL pemrakarsa proyek melakukan identifikasi tidak saja dampak penting bagi kondisi biofisik-kimia serta dampak sosial-budaya dari proyek yang diusulkan, tapi juga memperkirakan besaran emisi GRK yang akan dihasilkan dan sebaliknya bagaimana dampak perubahan iklim mempengaruhi proyek yang direncanakan.
Akan tetapi dalam perkara in casu, yang terjadi justru kesenjangan antara ketentuan normatif di atas dengan kenyataan di lapangan. Pertama, secara prosedural, mekanisme FPIC tidak dijalankan bagi Masyarakat Adat Awyu yang terkena dampak proyek. Kedua, secara material, dalam analisis tentang sifat dampak penting dari pembukaan lahan, AMDAL hanya menilai dua dampak penting yakni penurunan keanekaragaman vegetasi dan penurunan kualitas jenis satwa liar. Apabila mengacu pada pedoman penyusunan dokumen lingkungan, salah satu kriteria untuk memperkirakan sifat dari dampak penting adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, AMDAL menyatakan bahwa “tidak ada“ dampak berdasarkan kriteria perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan kriteria penyusun AMDAL seharusnya melihat ilmu pengetahuan dan teknologi terkait perubahan iklim yang telah mengalami perkembangan secara pesat sehingga memungkinkan penyusun AMDAL untuk melakukan penghitungan berapa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembukaan lahan tersebut yang akan berkontribusi pada perubahan iklim.
Igam Wardana menilai upaya untuk menutup mata dari perubahan iklim oleh penyusun AMDAL juga dapat ditemukan dalam analisis sifat dampak penting dari tahap operasional sarana prasarana. Di sini, dampak besar proyek bagi lingkungan hanya dibatasi pada penurunan kualitas air permukaan, peningkatan limbah padat, peningkatan limbah cair, penurunan biota perairan. Hal yang sama juga terjadi dalam analisis dalam Tahap Operasional Pabrik, di mana penyusun AMDAL hanya menyebutkan dua dampak negatif terhadap lingkungan, yakni penurunan kualitas air permukaan dan peningkatan limbah padat.
Singkatnya, AMDAL yang sama sekali tidak menyebutkan dampaknya bagi perubahan iklim melalui pelepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer menunjukkan proses penyusunannya yang tidak cermat, reduksionis, dan tidak berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini bertentangan dengan komitmen pemerintah terkait perubahan iklim peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang dilegitimasi oleh SK No. 82 Tahun 2021 yang menjadi objek sengketa ini berpotensi untuk melepaskan 23,08 juta ton CO2e yang mana pada gilirannya akan meningkatkan emisi karbon Indonesia sebanyak 5% pada tahun 2030. Konsekuensinya, proyek ini akan menyebabkan kegagalan Indonesia untuk menjalankan kewajibannya dalam upaya penurunan emisi GRK secara nasional sebagaimana dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Igam Wardana mengungkapkan dalam perkara ini yang terpenting adalah fakta bahwa pemrakarsa proyek, penyusun AMDAL, penilai AMDAL, tidak memasukkan dampak perubahan iklim, salah satunya besaran emisi GRK yang akan dilepaskan ke atmosfir oleh proyek yang diberikan izin lingkungan oleh Tergugat. Hal ini menunjukkan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian Tergugat dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Padahal, dalam konteks hukum lingkungan, keputusan tata usaha negara seharusnya memiliki fungsi penting dalam melakukan pencegahan atas terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan
AMDAL Cacat secara Prosedural dan Material
AMDAL sebagai dokumen teknis dan ilmiah harus mengandung kajian yang benar, cermat, dan akurat karena berdasarkan kajian inilah kelayakan atau ketidaklayakan sebagai usaha dan/atau kegiatan akan dinilai. Apabila terdapat kajian yang tidak benar atau direduksi dalam dokumen AMDAL, akan berisiko bagi upaya pencegahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Igam Wardana menjelaskan apabila AMDAL tidak mengkaji dampak perubahan iklim dari sebuah proyek yang diusulkan, maka proyek tersebut akan memperparah krisis iklim sehingga permasalahan tersebut semakin sulit untuk diatasi. Karena perizinan lingkungan tersusun secara berlapis mulai dari kelayakan ruang (izin lokasi), kelayakan lingkungan (izin lingkungan) dan kelayakan operasional (izin PPLH), maka AMDAL yang cacat secara prosedural dan material akan memiliki konsekuensi hukum terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan.
Apabila izin lingkungan yang dikeluarkan berdasarkan AMDAL yang tidak mempertimbangkan dampak negatif proyek bagi perubahan iklim, maka dapat melahirkan konsekuensi hukum dibatalkannya izin lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan normatif Pasal 37 ayat (2) UU PPLH dan sebagaimana telah menjadi praktik pengadilan yang dituangkan dalam bentuk preseden oleh Majelis Hakim dalam Kasus PLTU Tanjung Jati melalui Putusan No. No. 52/G7LH/2022/PTUN.Bdg.
Dalam perkara in casu, Amicus berkesimpulan bahwa SK Kepala DPMPTSP Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 harus dinyatakan batal. Hal ini karena objek sengketa tersebut dikeluarkan atas dasar AMDAL yang melanggar Asas Tanggung Jawab Negara dan Asas Kehati-hatian, serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) khususnya Asas kecermatan dan Asas Manfaat. Namun apabila Majelis Hakim dalam perkara in casu mengalami keragu-raguan, Amicus memohon Majelis Hakim untuk mengambil putusan yang terbaik bagi kelestarian lingkungan hidup (in dubio pro natura).
Selengkapnya baca: Amicus Curiae_IGAM Wardana atas Gugatan Lingkungan Hidup Suku Awyu
Ank, Okt 2023