Sidang Gugatan Lingkungan PTUN Jayapura: Masyarakat Adat Merasa Tertekan dan Terpaksa

Prinsip keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan, merupakan prinsip dan hak masyarakat adat yang ditetapkan dalam berbagai instrument internasional dan kebijakan nasional, serta praktik terbaik bisnis berkelanjutan. Dalam sidang gugatan Lingkungan di PTUN Jayapura, terungkap pemerintah dan perusahaan mengabaikan prinsip dan hak masyarakat adat ini.

Hal ini disampaikan saksi Kasmilus Awe dalam sidang pemeriksaan saksi yang dihadirkan penggugat dalam ruang sidang PTUN Jayapura (Kamis, 27/7/2023), yang dipimpin Majelis Hakim, Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota, Yusuf Klemen SH dan Donny Poja SH.

Kasimilus mengungkapkan dalam proses mediasi permasalahan penolakan perusahaan PT Indo Asiana Lestari (IAL), pihak pemerintah Kepala Distrik Fofi meminta difasilitasi Kepolisian Resor (Polres) Boven Digoel dan berlangsung di Kantor Polres. Kasmilus menjelaskan dalam pertemuan mediasi ketika itu, pihak kepolisian dan Kepala Distrik Fofi meminta dirinya dan Kepala Suku Awyu, Pius Suam, menandatangani surat kesepakatan pelepasan tanah untuk PT IAL.

“Mediasi di Kantor Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu atau SPKT Polres Boven Digoel [berlangsung] pada 16 November 2020.  [Saat itu] Kepala distrik mengajak masyarakat yang pro perusahan hadir dengan membawa alat tajam, berdiri di depan SKPT. Saya hadir bersama kepala suku dijemput oleh polisi.  Saat saya bicara, saya diminta untuk berhenti berbicara. Ada suara bentakan dari masyarakat yang pro perusahan. Pihak kepolisian dan kepala distrik meminta kami menandatangani surat persetujuan menerima perusahaan. Kepala Suku Awyu Igedinus Pius Suam menandatangani karena dalam situasi tekanan, ada ancaman”, kesaksian Kasmilus.

Dalam Perkara Tata Usaha Negara (TUN) terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, perwakilan masyarakat adat Suku Awyu selaku penggugat menuntut izin lingkungan tersebut dicabut karena melanggar hak-hak masyarakat adat dan mengancam terjadinya kerusakan lingkungan.

Kasmilus menyatakan sejak awal masyarakat adat  marga Abubhadi menolak kehadiran PT Indo Asiana Lestari. Kasmilus menyatakan penolakan itu didasari alasan bahwa kehadiran perusahan akan menghilangkan sumber penghidupan dan hak ulayat Suku Awyu.

“Kami menolak karena hidup tergantung dari hutan. Kami menolak karena [hutan adat] itu sumber hidup. Kalau perusahaan masuk, otomatis hak ulayat akan hilang,” kata Kasmilus dalam persidangan.

Staf Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Arief Rossi, yang menjadi saksi dalam sidang tersebut, menyetakan konsesi PT IAL tumpeng tindih dengan hak adat Marga Woro. Hal ini berdasarkan hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan Pusaka bersama masyarakat adat Awyu.

“Kami memandu masyarakat membuat peta sketsa gambaran wilayah, tempet penting dan batas-batas, lalu mengambil titik koordinat dan diolah secara digital melalui aplikasi ArcGIS, hasil pengolahan data menunjukkan peta tanah maysarakat adat marga Woro tumpeng tindih dengan lahan konsesi PT Indo Asiana Lestari, seluas 2.014 hektar”, jelas Arif.

Dikutip dari pemberitaan media Jubi.id, Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, John NR Gobai meminta dan mendesak Plh Gubernur Papua mencabut izin PT Indo Asiana Lestari. Hal ini diungkapkan pada saat rapat badan anggaran bersama Tim Anggaran Pemprov Papua (25/7/2023).

“Dalam rapat itu, kami minta Plh Gubernur Papua, mencabut izin PT Indo Asiana Lestari, karena masyarakat adat di sana sudah sekian lama memprotes dan menolak kehadiran perusahaan itu,” kata John Gobai.

Pemprov Papua mesti bijaksana, melihat apa yang dialami masyarakat. Mesti bertindak tegas, agar masyarakat tidak merasa dirugikan karena mereka telah menyatakan kehadiran perusahaan sawit di wilayah mereka justru akan merusak lingkungan, jelas John Gobai.

Dalam materi objek gugatan dijelaskan potensi kerugian lingkungan yakni investasi usaha perkebunan kelapa sawit PT IAL akan mengubah ekosistem hutan berpotensi terjadi deforestasi, hilangnya kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi, menghilangkan cadangan karbon, hilangnya ekosistem hutan, menghilangkan habitat dan spseies penting dilindungi, terjadi penurunan fungsi lingkungan dan tangkapan air, sehingga rentan terjadinya banjir.

Ank, Juli 2023

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy