Duduk, Dengar, Diam dan Pulang

Kasimilius Awe, tokoh masyarakat adat dari Suku Awyu dihadirkan sebagai saksi dalam Gugatan Lingkungan yang diajukan Hendrikus Woro, masyarakat adat suku Awyu, melawan Pemerintah Provinsi Papua melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, terkait izin lingkungan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) seluas 36.206 hektar. Kasimilus  menceritakan peristiwa intimidasi yang dialaminya di depan mejelis hakim PTUN Jayapura.

Tahun 2017 Kasimilius Awe bersama beberapa pemilik tanah adat diminta datang ke rumah Fabianus Senfahagi, salah satu tokoh masyarakat dan pejabat di kantor pemerintah daerah Boven Digoel. Fabianus memperkenalkan perusahaan PT IAL berencana membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah adat suku Awyu.

Di hadapan pihak perusahaan, Fabianus Senfahagi membuka pertemuan dengan kata-kata, “kalian yang datang hanya duduk, dengar, diam dan pulang, tidak boleh ada yang berbicara”, kisah Kasimilius.

“Saya selalu ingat kata ini, duduk, dengar, diam dan pulang”, jelas Kasimilius, yang merasa hak mereka berpendapat diabaikan.

Kesudahannya diketahui, Fabianus Senfahagi menandatangani sebuah dokumen surat mengatasnamakan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) menyetujui PT IAL membuka usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah adat Awyu.

“Kami semua diam, tidak berani protes. Kami anggap ini adalah ancaman. Saya tidak pernah memberikan kuasa ke Fabianus menghadirkan perusahaan,” ucap Kasimilius.

Sejak peristiwa itu, Kasimilius Awe bersama tim Paralegal Cinta Tanah Adat aktif melakukan berbagai upaya penolakan. Masyarakat adat menanam Salib Merah di wilayah adat agar hutan dan tanah tidak dibongkar.

“Kami telah berusaha menolak, kami minta pertolongan yang kuasa membantu kami, itu tujuan kami menanam salib”, ungkap Kasimilius.

Masyarakat adat juga mengirimkan surat penolakan hingga melakukan aksi unjuk rasa di kantor pemerintah daerah dan bertemu pejabat di provinsi, tujuannya agar pemerintah menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit.

Kasimilius Awe bersama masyarakat adat lainnya menolak perkebunan kelapa sawit berpandangan bisnis ini akan menghancurkan hutan adat.

“Kami turun temurun hidup dengan hasil alam, kami mengolah hasil alam untuk kehidupan. Di dalam hutan banyak dusun sagu, tempat keramat, tempat berburu, banyak tumbuhan dan binatang yang dilindungi. Kehadiran perusahaan akan merampas tanah adat. Kami akan kehilangan segalanya,” ucap Kasimilius.

Banyak masyarakat adat yang menolak perkebunan kelapa sawit dan ada juga yang mendukung. Perusahaan mengumbar banyak janji-janji untuk mendapat dukungan. Akhirnya ini membuat masyarakat terbelah pro dan kontra. Sebelumnya masyarakat adat hidup damai tanpa perselisihan.

Kasimilius menceritakan berbagai ancaman yang terjadi sepanjang yang dialami masyarakat adat.

“Tahun 2020, dua orang masyarakat dilaporkan ke aparat keamanan karena menanam salib menolak perusahaan, lalu kepolisian berdalih melakukan mediasi. Kami sebagai tokoh adat minta agar seluruhnya diselesaikan secara adat. Tahun 2021, saya dijemput anggota Polres Boven Digoel bersama kepala suku Awyu Egidius Suam. Saat tiba di Polres, sudah hadir pihak perusahaan, Kepala Distrik Fofi dan masyarakat pendukung perusahaan. Kami dipaksa menandatangani surat untuk menerima perkebunan kelapa sawit. Karena kondisi yang tidak kondusif, kami terpaksa menandatangani surat kesepakatan tersebut, padahal hati kami tidak setuju”, kisah Kasimilius yang menjadi korban intimidasi.

Dalam persidangan, terungkap bahwa pihak-pihak yang menolak perkebunan kelapa sawit tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan antara pemerintah dan perusahaan. Berbagai sikap protes yang disampaikan masyarakat ke pemerintah tidak pernah dimuat dan dibahas dalam penyusunan dokumen AMDAL dan izin lingkungan. Hal ini melanggar prinsip keterbukaan dan partisipatif masyarakat yang terdampak langsung.

Ini membuktikan Pemerintah Provinsi Papua secara sewenang-wenang dalam menyusun AMDAL dan menerbitkan perizinan lingkungan dengan mengabaikan keberadaan masyarakat.

“Kami berharap Majelis Hakim memperhatikan hal ini dan memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat,” ungkap Tigor Hutapea, salah satu kuasa hukum penggugat.

Persidangan kembali akan dilanjutkan pada tanggal 10 Agustus 2023, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi dari masyarakat adat. Semoga ada putusan yang adil bagi masyarakat adat dan hutan adat Papua.

TGH, Agst 23

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy