Audit Menyeluruh Bisnis Perusahaan Alamindo Group

Pusaka dan LMA Malamoi Meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Membatalkan Pemberian Izin PT Hutan Hijau Papua Barat

Negara telah mengatur batas maksimum penguasaan sumber daya alam untuk komoditas produksi komersial dalam skala luas tertentu dan melarang praktik monopoli yakni pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha, melalui penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang praktik monopoli. Ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021, Pasal 96 dan 97, memberikan pembatasan luasan dan jumlah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Pembatasan penguasaan asset produksi ini untuk tujuan keadilan ekonomi dan kesejahteraan rakyat banyak. Sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, mengatur bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6) dan untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7). Larangan Monopoli juga bertujuan untuk menjaga kepentingan umum dan persaingan usaha tidak sehat.

Di Papua, perusahaan pembalakan kayu dan perkebunan kelapa sawit ditemukan memiliki konsesi dan lahan usaha yang luasnya melampaui batas maksimum, salah satunya perusahaan kayu Alamindo Group yang memiliki dua perusahaan kayu, yakni:  (1) PT. Prabu Alaska yang konsesinya berada di Kabupaten Fakfak dan Kaimana, dengan luas 415.240 hektar ; (2) PT. Rimbakayu Arthamas yang konsesinya berada di Kabupaten Teluk Bintuni dan Pegunungan Arfak, dengan luas 130.400 hektar ; dan perusahaan industri kayu olahan (3) PT. Karas Industri Papua yang berkedudukan di Kabupaten Kaimana, di Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, diatas lahan seluas 28 hektar.

Total areal konsesi pengusahaan hasil hutan yang kini dimiliki Alamindo Group seluas 585.640 hektar dan jika diterima PBPH PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB), maka keseluruhan areal konsesi yang dimiliki seluas 677.788 hektar.  Praktik monopoli pengusahaan hasil hutan skala luas ini bertentangan dengan ketentuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021, Pasal 97 ayat (1), yang mengecualikan pembatasan luas PBPH pada Hutan Produksi di wilayah Papua paling luas 100.000 hektar.

Berdasarkan hasil desk research Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (2023) diduga perusahaan PT HHPB memiliki hubungan yang kuat dan/atau menjadi bagian dari grup perusahaan PT Alamindo Lestari Sejahtera Group dan/atau PT Alamindo Bumi Hijau Group (Alamindo), yang berkantor di Wisma Intra Asia, Jl. Prof. Dr. Soepomo No. 58, RT.5/RW.1, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan.  Berdasarkan dokumen data Profil Ditjen AHU, Kemenhukham, dan publikasi Alamindo Group diketahui pemilik saham Alamindo Group adalah Juan Mulya dan Darius Audryc Mulia, dan perusahaan Best Fortune 169 Co.,Ltd, berbasis di Taiwan. Ditemukan pula, Adi Gunawan sebagai Komisaris Utama Alamindo Group dan juga menjabat sebagai Komisaris sekaligus pemilik modal dari PT HHPB.

“Patut diduga Alamindo Group sedang melakukan praktik monopoli bisnis pembalakan kayu dan hasil hutan lainnya dengan penguasaan konsesi skala luas yang melebihi ketentuan. Penguasaan skala luas dilakukan melalui anak perusahaan. Hal ini menggambarkan buruknya tata kelola kehutanan yang tidak mempertimbangkan aspek keadilan, pemerataan, daya dukung dan daya tampung, dan kelestarian hutan”, jelas Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Perusahaan Alaimindo Group juga merencanakan pengembangan bisnis karbon melalui anak perusahaan PT Rimbakayu Arthamas dan bermitra dengan 9 (Sembilan) perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk penyerapan karbon pada tujuh distrik di Kabupaten Asmat, Mappi, Boven Digoel, Sarmi, Mamberamo Raya, Waropen dan Kaimana, dengan luas 1.573.705 hektar, melalui perusahaan PT Kayu Bumi Papua (199,950 ha); PT Kayu Bumi Persada (198,950 ha); PT Alam Dhiva Sukses (180,740 ha); PT Kayu Indah Perkasa (191.798 ha); PT Hutan Lestari Sejahtera (197.498 ha); PT Karya Hutan Lestari (195,116 ha); PT Wana Bumi Perkasa (136.737 ha); PT Hutan Hijau Perkasa (175.076 ha); PT Perkasa Bumi Hijau (97.840 ha).

Audit Kepatuhan Perusahaan

Sejak pertengahan Juli 2023, masyarakat adat di kampung dan di kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, yang terancam dan terdampak oleh rencana perusahaan kayu PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB), melakukan aksi protes menolak rencana perusahaan PT HHPB dan izin arahan yang dikeluarkan pemeritan daerah.

Puluhan perwakilan warga Suku Moi protes dan menyampaikan petisi penolakan masyarakat adat dihadapan pejabat Dinas Lingkungan Hidup dan pemimpin perusahaan PT HHPB saat melakukan konsultasi AMDAL  di gedung Serbaguna Drei Kinder, Kota Sorong, pada 17 Juli 2023. Aksi penolakan warga terus berlangsung mulai dari pelataran alun-alun Aimas di Kabupaten Sorong, meluas ke kampung-kampung di Distrik Salkma, Sayosa, Sayosa Timur, Wemak dan Klayili. (Lihat: https://pusaka.or.id/suku-moi-menghadang-raksasa-korporasi-kayu/)

Masyarakat beralasan kehadiran perusahaan PT HHPB di wilayah adat mereka akan menyebabkan kerusakan dan hilangnya hutan, spesies dan habitat, sumber kehidupan dan sumber mata pencaharian masyarakat adat. Hutan adat tersisa di Sayosa Raya merupakan tempat pendidikan adat bagi Suku Moi Salkma, yang mempunyai fungsi lindung, keramat dan identitas budaya Suku Moi.

Fakta sikap dan reaksi masyarakat adat terdampak ini menunjukan perusahaan  tidak mendapatkan restu, tidak lolos secara sosial dan ekologi masyarakat. Karenanya, pemberian rekomendasi teknis dan izin arahan PBPH kepada PT HHPB, maupun berbagai persyaratan administrasi persetujuan lingkungan, yang dikeluarkan pemerintah daerah dan kementerian, patut diduga dilakukan dengan cara-cara melanggar dan mengabaikan hak-hak hukum masyarkat adat Moi.

Hak masyarakat adat Moi berpartisipasi menentukan pembangunan dan termasuk perizinan yang seharusnya dilakukan diawal, mendahului putusan dan perizinan apapun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, Pasal 43 ayat (4), dan Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Moi, Pasal 17 ayat (1). Namun penguasa dengan kekuasaan yang dimiliki membuat putusan melampaui dan mendahului putusan masyarakat adat.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka) dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi, telah mengirimkan surat pengaduan yang disampaikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Jakarta (02/08/2023), terkait  penertiban Surat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.40/PDLUK/P2T/PLA.4/2023 tanggal 6 Januari 2023 tentang Arahan Persetujuan Lingkungan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi kepada PT Hutan Hijau Papua Barat untuk usaha pembalakan kayu hutan alam di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, seluas 92.148 hektar.

“Kami menolak pemberian izin dan rencana AMDAL perusahaan kayu PT Hutan Hijau Papua Barat, karena berdasarkan konsultasi dan diskusi bersama masyarakat, diketahui mereka menolak perusahaan dengan berbagai alasan dampak sosial budaya, ekonomi, mata pencaharian dan kerusakan hutan”, jelas Silas Kalami, Ketua LMA Malamoi.

Pusaka dan LMA Malamoi sepakat meminta Menteri LHK menolak dan membatalkan pemberian izin PBPH kepada perusahaan PT HHPB, dengan mempertimbangkan aspirasi sikap penolakan masyarakat, dampak sosial ekonomi dan lingkungan yang ditimbulkan.

“Menteri LHK dan OPD terkait, harus melakukan audit kepatuhan secara menyeluruh terhadap perusahaan Alamindo Group dan bermusyawarah dengan masyarakat adat, sebelum memberikan izin kepada PT HHPB. Audit kepatuhan menyeluruh ini menyangkut tanggung jawab dalam legalitas usaha pemanfaatan dan penatausahaan hasil hutan kayu, kewajiban pembayaran pajak, tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan, uji tuntas Hak Asasi Manusia dengan mengidentifikasi dampak sosial dan lingkungan, dan tindakan pencegahannya”, kata Franky Samperante.

Audit kepatuhan ini diharapkan dapat melibatkan masyarakat terdampak dan dilakukan secara terbuka, termasuk hasil dan sanksi atas pelanggaran disampaikan ke publik.

Ank, Agustus 2023

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy