Suku Moi Menghadang Raksasa Korporasi Kayu

Sejak akhir 1982, kendali dan pengaturan negara dalam pengurusan dan pemanfaatan hasil hutan Papua semakin luas, ditandai dengan adanya Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820 Tahun 1982 tentang Penunjukkan Areal Hutan di Wilayah Propinsi Dati I Irian Jaya seluas hampir 41 juta hektar sebagai Kawasan Hutan. Keputusan ini didasarkan pada UU Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967, Menteri menetapkan Kawasan Hutan (negara), setelah dikerjakan dan dipetakan diatas meja, minim konsultasi warga, membagi fungsi dan peruntukkannya, dilapangan dipasang Papan Larangan dan/atau tugu konsesi.

Meskipun terjadi perubahan UU Kehutanan (1999) dan revisi pasal tertentu (2012), yang menerima dan mengakui keberadaan hutan adat, namun negara membuat pengaturan persyaratan yang belum sepenuhnya memajukan dan memulihkan hak-hak masyarakat adat yang terjadi sepanjang rezim Orde Baru. Rezim pembangunan saat itu, menerbitkan kebijakan pengambilalihan dan pemanfaatan tanah dan hutan adat secara sepihak, menjadi hutan politik (negara) dan menetapkan sebagai kawasan hutan (negara), dan mengusahakan untuk komoditi komersial dilakukan menggunakan politik hukum, teritorialisasi dan bahkan penggunaan alat kekerasan negara, yang masih berulang hingga saat ini dan menguntungkan korporasi. Tidak adil.

Moses Kilangin, Suku Amungme, menceritakan bagaimana patok larangan ‘adat’ Suku Amungme yang dianggap tabu oleh warga Amungme di Lembah Wa. Namun perusahaan tambang Freeport bermodalkan surat Kontrak Karya dan aparat militer dengan pendekatan keamanan, mengoperasikan bisnis tambang dengan menggusur dan menghancurkan Nemangkawi, yang dianggap gunung suci.  Tahun 2004, Presiden RI, Megawati Soekarnoputri, menerbitkan keputusan yang mendukung perusahaan pertambangan ini untuk beroperasi pada kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Paripurna DPR RI (2004) turut menyetujui dengan perubahan Undang-Undang 41/1999 untuk melindungi bisnis tambang di hutan. Kini UU Cipta Kerja menjadi pelicin jalan tol bisnis dan penggandaan laba.

Bisnis menguras kekayaan alam, meraup dan menggandakan laba ini melibatkan Orang Kuat (Hasiman, 2019), para elite bisnis-politik yang memiliki akses dekat dengan penguasa dan pengambil kebijakan strategis. Kaum oligarki terlibat langsung dalam mengendalikan bisnis, mereka memiliki pengaruh dan mampu membelokkan arah kebijakan menggunakan kuasa dan uang untuk kepentingan pemodal dan korporasi. Mereka memiliki jaringan bisnis dan politik yang luas dari tingkat lokal, nasional hingga global. Plato menjelaskan rezim oligarki, yang dipimpin oleh segelintir elite kaya, yang lebih mementingkan kekayaan, menghasilkan uang, dengan sikap yang tidak jujur (Asshiddiqie,2022).

Mereka memiliki impunitas dan hak istimewa yang dilindungi penguasa negara untuk membuka jalan pencetakan laba dengan cara kotor, seperti menyuap dan memberi insentif untuk memperluas dan mendapatkan izin usaha, termasuk perlindungan dan penyelesaian bebas dari jeratan hukum. Mas Pujo (2022) membuat perumpamaan orang kuat sebagai raksasa untuk menjelaskan keberadaan penguasa dan relasi kekuasaan yang tidak adil dalam sistem produksi industri perkebunan, penyingkiran masyarakat dan ekspolitasi buruh, dan kerusakan lingkungan.

Penguasa Hutan Papua

Sejak tahun 1988 hingga diterbitkannya Inpres Moratorium pembabatan hasil hutan alam dan lahan gambut (2011), diketahui pemerintah telah menerbitkan izin usaha pembalakan hasil hutan kayu (HPH) di Provinsi Papua dan Papua Barat (sebelum pemekaran DOB) kepada 86 perusahaan dengan luas mencapai 11.170.416 hektar. Mungkin izin pembalakan kayu terluas dibandingkan daerah lain di luar Papua. Saat ini beberapa dari puluhan perusahaan tersebut telah berhenti beroperasi, beberapa diantaranya berganti kepemilikan dan/atau diakuisisi beralih pemilik baru.

Besar luasan konsesi ini dikarena praktik kesewenang-wenangan dalam hukum tanpa mempertimbangkan rasa keadilan dan kepentingan rakyat banyak, adanya pandangan diskriminasi sosial ekonomi, dan menggunakan dalil perluasan pembangunan dan pengentasan kemiskinan, yang didorong dan dipengaruhi kepentingan percepatan dan perluasan akumulasi kapital di Papua.  Tahun 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, pada Pasal 8 ayat (1) ditetapkan ketentuan luas maksimal Hak Pengusahaan Hutan (HPH),(a) untuk satu Propinsi setiap pemegang hak maksimal seluas 100.000 (seratus ribu) hektar; (b) untuk seluruh Indonesia setiap pemegang hak maksimal seluas 400.000 (empat ratus ribu) hektar; (c) khusus untuk Propinsi Irian Jaya setiap pemegang hak maksimal seluas 200.000 (dua ratus ribu) hektar. Ketentuan luas maksimal Hak Pengusahaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berlaku untuk satu perusahaan dengan groupnya.

Kebijakan penguasaan konsesi hutan berlipat ganda ini sejalan dengan harapan para taipan kayu. Mereka juga menguras dan mendapatkan isi hasil hutan kayu dari izin konversi hutan dalam pengembangan bisnis usaha perkebunan.

Berdasarkan studi FWI (2022), berjudul Hutan Papua dan Para Penguasanya, disampaikan ada 6 (enam) grup perusahaan yang memiliki lahan konsesi skala luas di Papua, yakni Kayu Lapis Indonesia (KLI) Group seluas 632.000 hektar ; Raja Garuda Mas (RGM) Group seluas 549.000 hektar ; Sinar Wijaya Group seluas 547.000 hektar ; Alamindo Group seluas 750.150 hektar ; Korindo Group seluas 417.000 hektar, dan Masindo Group seluas 406.000 hektar. Pemilik perusahaan ini juga mengendalikan dan mempunyai perusahaan dan investasi pada berbagai bisnis komoditi dan industri pengolahan lanjutan, seperti perkebunan kelapa sawit dan minyak sawit, bisnis property, industri peternakan dan daging, dan investasi pengembangan lahan skala luas (food estate).

Pengusaha tajir Sukanto Tanoto, pemilik konsesi yang mengendalikan RGM Group, mempunyai bisnis kayu, kebun kelapa sawit, minyak kelapa sawit, margarin dan  biodiesel, tersebar di berbagai daerah, termasuk di Jayapura, Papua.

Lainnya, Alamindo Lestari Sejahtera Group, memiliki dan mengendalikan tiga perusahaan dan industri kayu di Papua, yakni PT Rimbakayu Arthamas di Teluk Bintuni, PT Prabu Alaska di Fakfak, Kaimana dan Boven Digoel, dan industri pengolahan kayu PT Karas Industri Papua di Karas, Fakfak. Pemilik perusahaan masih berhubungan dengan pengusaha Kim Johanes Mulia dan Juan Mulya. Kim Johanes Mulia, kroni Soeharto, memiliki beberapa bisnis dan pernah menjadi terpidana skandal keuangan.

Perusahaan Alamindo Lestari Sejahtera (ALS) Group mengklaim dan mengembangkan proyek food estatedengan nama proyek Bangun Bumi Papua untuk industri peternakan dan perkebunan jagung di Kebar dan Fakfak, melalui anak perusahaan PT Nuansa Lestari Sejahtera (NLS), proyek kontroversial dan mendapat penolakan warga suku Mpur di Kebar, Kabupaten Tambrauw.

Perusahaan ALS Group juga merencanakan pengembangan bisnis karbon melalui anak perusahaan PT Rimbakayu Arthamas dan bermitra dengan 9 (Sembilan) perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk penyerapan karbon pada tujuh distrik di Kabupaten Asmat, Mappi, Boven Digoel, Sarmi, Mamberamo Raya, Waropen dan Kaimana, dengan luas 1.573.705 hektar, melalui perusahaan PT Kayu Bumi Papua (199,950 ha); PT Kayu Bumi Persada (198,950 ha); PT Alam Dhiva Sukses (180,740 ha); PT Kayu Indah Perkasa (191.798 ha); PT Hutan Lestari Sejahtera (197.498 ha); PT Karya Hutan Lestari (195,116 ha); PT Wana Bumi Perkasa (136.737 ha); PT Hutan Hijau Perkasa (175.076 ha); PT Perkasa Bumi Hijau (97.840 ha).

Kini penguasa hutan Papua, Alamindo Lestari Sejahtera Group sedang memperluas usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di wilayah adat Suku Moi melalui perusahaan bernama PT Hutan Hijau Papua Barat, dalam profil perusahaan terdapat Adi Gunawan, pemilik saham dan sekaligus komisaris, pemilik saham lainnya adalah Tony Salim.

Legalitas Perusahaan

Secara kronologis legalitas perusahaan PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB), diketahui dari informasi rencana dan restu investasi bisnis ekstraktif hasil hutan kayu sudah berlangsung sejak Mei 2022. Pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua Barat, Yan Piet Moso (kini menjabat Bupati Sorong), menerbitkan Surat Pertimbangan Teknis PBPH kepada perusahaan PT HHPB.

Pada 02 Agustus 2022, perusahaan mendapatkan Surat Menteri Investasi Kepala BKPM Nomor: 02082211119201002, yang ditandatangani Bahlil Lahadalia, tentang Persetujuan Komitmen Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan pada Hutan Produksi a.n. PT HHPB di Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, yang menjelaskan bahwa berdasarkan hasl verifikasi administrasi dan teknis perusahaan telah memenuhi persyaratan, dan pemberian Persetujuan Komitmen PBPH pada Hutan Produksi PT HHPB ini diminta agar perusahaan menyelesaikan pemenuhan komitmen, antara lain Menyusun berita acara hasil pembuatan koordinat geografis batas areal calon areal kerja dalam waktu paling lama 20 hari kerja, Menyusun dokumen lingkungan hidup dan melunasi iuran PBPH. Persetujuan Komitmen PBPH ini akan dibatalkan jika perusahaan tidak menyelesaikan pemenuhan komitmen dimaksud.

Pada Januari 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan menerbitakan surat tentang Arahan Persetujuan Lingkungan PT HHPB, yang mewajibkan perusahaan menyusun AMDAL.

Konsesi perusahaan kayu PT HHPB berada diapit oleh konsesi perusahaan kayu PT Mancaraya Agro Mandiri, terletak di Distrik Sayosa, Sayosa Timur, Klayili, Maudus, Wernak, Kabupaten Sorong ; dan Distrik Salkma , Kabupaten Sorong Selatan, dengan luas 92.148 ha. Kami sudah memeriksa alamat perusahaan yang tertera dalam dokumen, perusahaan berkedudukan di Jalan Sawo, RT 001 RW 003, Kelurahan Malawili, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, namun kantor dimaksud belum ditemukan disepanjang jalan Sawo dan warga memberikan testimoni tidak mendengarkan nama perusahaan. Kredibilitas perusahaan diragukan.

Hutan Larangan Kofok

Awal pekan ini (17/7/2023) di Gedung Serbaguna Drei Kinder, Kota Sorong, puluhan pemuda dan warga Suku Moi melakukan aksi protes dan menolak rencana pemerintah dan perusahaan kayu PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB) untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) pada kawasan hutan seluas 92.148 hektar.

Dalam surat pernyataan yang dibacakan di depan pejabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) Provinsi Papua Barat Daya dan pimpinan perusahaan PT HHPB, menyatakan antara lain: menolak rencana perusahaan PT Hutan Hijau Papua Barat yang rencana  beroperasi di tanah adat dan mendesak pemerintah daerah dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan PT Hutan Hijau Papua Barat seluas 92.148 hektar yang berada di wilayah adat.

Yordan Malamuk, pimpinan Pemuda Adat Suku Moi Salkma , mengemukakan alasan penolaan “Operasi perusahaan akan merusak dan menghilangkan hutan, kehilangan mata pencaharian dan sumber pangan, dan terjadinya pemanasan global. Masyarakat juga sudah punya pengalaman bukti kehadiran perusahaan HPH dan perkebunan kelapa sawit yang merusak hutan dan tidak memberikan kesejahteraan”, jelas Yordan, asal Sayosa Timur, Kabupaten Sorong.

Relasi produksi dan distribusi yang timpang ditemukan dalam bisnis pembalakan kayu di Papua. Buruh perusahaan mulai dari operator tebang pohon hingga petugas administrasi yang bekerja dalam lingkungan ekstrim di hutan dan tekanan ekonomi, terpaksa menerima upah tidak layak, diskriminasi dan jaminan sosial buruk. Demikian pula, kompensasi yang diterima Tuan Dusun pemilik hutan adat, yang dibayarkan Rp. 1 juta permeter kubik kayu merbau, bandingkan dengan resiko hilangnya jasa lingkungan, kerusakan hutan dan ancaman bencana ekologi. Sedangkan pengusaha kayu menikmati keuntungan nilai lebih berlipat ganda dari bisnis kayu komersial.

Jalan menghadang perusahaan dan eksploitasi sumber daya alam ditengah corak sosial dan tata kelola bisnis yang buruk akan dapat mencegah kemiskinan dan ketidakadilan, dan menyelamatkan bumi dari dampak perubahan iklim. Sikap ini tersemat dalam diskusi dan aksi warga Suku Moi.

Mereka secara damai meninggalkan  ruang konsultasi publik untuk penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) PT Hutan Hijau Papua Barat (HHPB) yang diselenggarakan perusahaan dan pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, tanpa ada kesepakatan. Belum ada tanggapan dan pemberitaan sikap dari pemerintah daerah dan perusahaan atas sikap ini.

Berdasarkan analisis cepat dari peta konsesi perusahaan, sebagian besar kawasan hutan yang menjadi sasaran bisnis kayu PT HHPB berada dalam kawasan hutan adat, termasuk kawasan hutan larangan dan dilindungi masyarakat adat yang disebut Kofok, lembah Inei.

Ank, Jul 2023

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy